Liputan6.com, Jakarta Salah satu yang banyak disorot dalam kasus kekerasan bertagar Justice for Audrey di Pontianak, Kalimantan Barat adalah perilaku warganet. Banyak yang mendukung, tapi tidak sedikit yang merasa bahwa hujatan mereka pada para pelaku bukan tindakan terpuji.Â
Ratna Djuwita, psikolog sosial dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa di media sosial seseorang cenderung lebih berani untuk berkata kasar karena merasa terlindungi. Sehingga, dia merasa bahwa hujatan semacam itu sesungguhnya sama impulsifnya dengan pelaku kekerasan.
Baca Juga
"Medsos memang satu pihak jadi kontrol sosial, tapi di lain pihak bisa jadi sarana untuk perundungan," kata Ratna ketika dihubungi Health Liputan6.com, ditulis Kamis (11/4/2019).
Advertisement
Yang perlu dipikirkan saat ini adalah mengenai bagaimana anak muda saat ini lebih bijak menggunakan media sosial. Dia merasa bahwa belum ada literasi media sosial yang baik di Indonesia.
Ratna mengatakan, dengan bergesernya tren komunikasi lewat dunia maya, orang-orang saat ini memiliki kecenderungan untuk lebih "berani" karena merasa aman.
Di sini, pemerintah punya peran, khususnya dalam pendidikan guru soal media digital dalam menyambut revolusi 4.0.
Simak juga video menarik berikut ini:
Dukungan Belum Tentu Menyembuhkan
Di sisi lain, tekanan masyarakat pada pelaku belum tentu memiliki efek jera. Semua itu tetap tergantung dari bagaimana pelaku itu sendiri. Namun, mereka yang terlibat dalam kasus tersebut harus tetap mendapatkan konseling untuk pemulihan psikologisnya.
Di tengah hujatan pada pelaku, warganet juga memberikan dukungan pada korban yang berusia 14-an tahun itu. Dengan tagar #JusticeforAudrey, mereka ramai-ramai menyuarakan opininya untuk melawan perundungan dan kekerasan pada remaja. Meski begitu, seberapa besar pengaruh hal ini terhadap korban itu sendiri?
"Membantu secara sosial, ketika korban tahu banyak masyarakat yang mendukung dia, tetapi itu belum tentu menyembuhkan," kata Ratna.
Â
Advertisement
Jangan Ada Korban Kedua
Ditemui secara terpisah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga meminta agar masyarakat tidak menyebarkan foto maupun identitas baik korban atau pelaku ke media sosial.
"Ini merupakan hak (korban dan pelaku). Apabila diviralkan, maka yang menyebarkan bisa melanggar hukum," kata ketua KPAI Susanto di Jakarta, Rabu, 10 April 2019.Â
Sitti Hikmawatty, Komisioner KPAI Bidang Kesehatan juga mengatakan agar kasus ini diselesaikan dengan mengacu pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang bersifat pada pemulihan baik pelaku dan korban.
"Jangan sampai dengan kondisi sekarang, kita sudah mengadili kembali sehingga ada yang disebut secondary victim (korban kedua). Belum selesai (kasusnya) sudah ada penghakiman terlebih dahulu," ujar Sitti.