Mengulik Penyebab Masih Tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia

Masih ada sekitar 18 ribu ibu yang meninggal usai melahirkan di Indonesia. Angka kematian ibu (AKI) ini jauh lebih tinggi daripada Singapura dan Malaysia. Apa sebenarnya akar masalah AKI di Tanah Air?

oleh Benedikta Desideria diperbarui 03 Mei 2019, 19:00 WIB
Diterbitkan 03 Mei 2019, 19:00 WIB
20151111-Ilustrasi-Meninggal-Misterius-iStockphoto
Ilustrasi angka kematian ibu (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia mengalami penurunan dari 2010 ke 2015. Namun, bila dibandingkan dengan negara tetangga, AKI di Indonesia masih tinggi.

"Dari data AKI, menurun dari 2010 ke 2015, tapi bila dibandingkan negara ASEAN, kita masih kalah dari Singapura dan Malaysia," kata Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari.

Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, AKI di Indonesia berada pada angka 305 per 100.000 kelahiran hidup. Berarti ada sekitar 14 ribu ibu meninggal usai melahirkan. Sementara Singapura pada 2015 memiliki angka kematian ibu melahirkan tujuh per 100 ribu, dan Malaysia di angka 24 per 100 ribu.

Kirana menjelaskan ada banyak faktor yang menyebabkan masih tingginya AKI di Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain kesehatan ibu, ketersediaan dokter spesialis serta kehadiran fasilitas layanan kesehatan dalam kasus-kasus emergensi.

"Kalau kita lihat di hulu, data Riskesdas 2018 menunjukkan masih ada 48 persen ibu hamil yang anemia. Hal ini meningkatkan risiko kematian," kata Kirana saat ditemui Liputan6.com di kantornya yang terletak di Rasuna Said, Jakarta pada Kamis (2/5/2019).

 

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, Kirana Pritasari, (Foto: Liputan6.com/Sigit Santoso)
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, Kirana Pritasari, (Foto: Liputan6.com/Sigit Santoso)

Belum lagi, masih ada ibu yang melahirkan di rumah di 15 provinsi dengan angka 30 persen dari total ibu yang melahirkan. Persalinan tersebut bisa jadi dibantu oleh bidan atau dukun. Namun, perlu dicatat, kata Kirana, persalinan di rumah cenderung berisiko dibandingkan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Ketersediaan transportasi juga bisa menjadi kendala di daerah seperti Maluku yang berbentuk kepulauan. Bisa jadi di pulau yang ia tinggali tidak ada bidan. Sementara transportasi menuju puskesmas di pulau lain susah.

Untuk menangani kasus-kasus persalinan darurat pun membutuhkan dokter spesialis. Sayangnya, ada beberapa kabupaten/kota yang belum memiliki dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis anak, dan dokter spesialis anestesi.

"Sekarang, penyebab AKI itu juga terkait dengan penyakit lain seperti sakit jantung dan hipertensi seperti preeklamsia, sehingga perlu juga dokter spesialis penyakit dalam. Nah ini, ketersediaan dokter spesialis ini masih masalah," katanya.

Kirana juga membeberkan fakta bahwa masih ada puskesmas yang tidak memiliki dokter. Bahkan, ada rumah sakit di Maluku dan Papua yang belum bisa melakukan operasi caesar karena ketidakhadiran dokter spesialis atau alat.

"Jadi, masalah di hulu, di tengah ada, di hilir ada. Kita harus perbaiki ini semua. Kita enggak bisa menunggu agar semua ibu hamil sehat dulu. Ini harus simultan, semua diperbaiki," kata Kirana.

Upaya Menekan AKI

20151013-Ilustrasi Proses Melahirkan
Ilustrasi Proses Melahirkan (iStockphoto)

Meski menghadapi banyak tantangan, beragam upaya sudah dan tetap dilakukan untuk menekan agar AKI menurun di Indonesia. Pertama-tama dimulai dari penanganan masalah di hulu yakni meningkatkan kesehatan calon ibu.

"Calon ibu diedukasi supaya menjaga kesehatan, ada kelas untuk ibu hamil sehingga para ibu hamil itu dikumpulkan di puskesmas untuk membicarakan gizi selama kehamilan, membahas juga persiapan melahirkan. Sehingga ibu itu tahu bakal melahirkan di bidan atau puskesmas mana, lalu mengenali tanda bahaya, misalnya kalau sudah pusing sekali itu tanda harus ke tenaga kesehatan," kata Kirana.

Sementara program di hilir adalah penempatan dokter spesialis serta meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana untuk menangani kasus-kasus persalinan darurat.

"Cuma, ini kan harus sinkron. Harus ada SDM juga sarana prasarana. Kalau beli alat tapi enggak ada SDM ya enggak bisa, begitu juga sebaliknya," tutur Kirana.

Kementerian Kesehatan juga kini sudah menyediakan Rumah Tunggu Persalinan. Ini adalah rumah bagi ibu yang hendak melahirkan agar lebih dekat dengan fasilitas layanan kesehatan.

"Nah, di Rumah Tunggu ini ibu bisa tinggal untuk menunggu persalinan, lalu usai bersalin juga bisa untuk beberapa waktu tinggal di sana. Ini semua gratis," kata Kirana.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya