Liputan6.com, Jakarta Yuli (31) yang berprofesi pekerja kantoran memutar otak untuk dapat memerah Air Susu Ibu (ASI). Karena tidak semua perusahaan menyediakan ruang laktasi. Ia berprinsip, sembari bekerja, hak si kecil memeroleh ASI harus tercukupi dengan baik.
Cerita Yuli berupaya keras memerah ASI menghiasi malam yang kian dingin. Di luar sana, setelah hujan deras, rintik masih turun. Waktu hampir menunjukkan pukul 20.00 WIB saat kami mulai mengobrol.
Advertisement
"Selepas cuti melahirkan tiga bulan dan kembali masuk kerja, aku harus stok ASI juga. Lalu pumping (perah asi) di mana? Di lantai tempat ruanganku kerja, susah sih ya nyari ruang laktasi. Mau enggak mau, aku pumping-nya di meja kerja saja," tutur Yuli kepada Health Liputan6.com di ruang kerjanya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, ditulis Minggu (29/12/2019).
Kesulitan mengakses ruang laktasi di tempat kerja terungkap dalam Penelitian terbaru berjudul Breastfeeding Knowledge, Attitude, and Practice among White-Collar and Blue-Collar Workers in Indonesia. Jurnal tersebut dipublikasikan di The Korean Academy of Medical Sciences pada 5 September 2019.
“Lebih dari 10 persen subjek dalam kedua kelompok (15 persen pekerja kantoran dan 17 persen buruh) menyebutkan, mereka tidak pernah memerah ASI selama jam kerja. Karena mereka merasa tidak nyaman dan khawatir meninggalkan pekerjaan untuk memberi makan bayi atau ASI (44 persen),” terang peneliti Ray Wagiu Basrowi dari Ikatan Alumni Kedokteran Kerja FK UI saat ditemui di restoran sekitar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan beberapa hari lalu.
Alasan lain yang dilaporkan serupa sebagaimana dialami Yuli, yakni ruang laktasi yang tidak dapat diakses dan tidak nyaman di kantor atau pabrik (19 persen). Ada juga alasan volume ASI yang tidak memadai (10 persen) serta tidak diizinkan memerah ASI oleh pengawas (6 persen).
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Pakai Apron Menyusui
Menurut Yuli, ketersediaan ruang laktasi di kantor akan cukup mendukung ibu pekerja memerah ASI. Namun, ia memandang ruang laktasi di kantor terkadang masih belum sepenuhnya memadai. Tak ayal, kondisi ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi ibu pekerja.
“Yang aku lihat, ruang laktasi seadanya saja gitu. Maksudnya ruang laktasinya sempit. Padahal, sebetulnya sebagai ibu menyusui, ruang laktasinya yang layak. Kami tidak mengharapkan ruang mewah. Tapi paling tidak, ya ruang laktasinya agak luas dan rapi,” komentar Yuli sembari sesekali mengetik pekerjaan yang belum selesai.
“Ada meja dan kursi yang layak duduk. Kulkas khusus menyimpan ASI juga perlu. Maksud aku, tidak sembarangan dikasih ruang tambahan (untuk pompa ASI). Harus lebih layak dan agak luas ruangannya. Kita juga kan enggak sendirian, misalnya. Kalau satu kantor, ada 5 ibu menyusui, enggak muat kalau ruangannya sempit.”
Bukan hanya itu saja, ruang laktasi tidak selalu ada di setiap lantai ruang kerja, seperti di kantor Yuli. Artinya, jika ibu pekerja ingin memompa ASI harus berjalan dan berpindah lantai. Di sela-sela bekerja, ibu yang ingin segera memerah ASI pun cukup memakan waktu menuju ruang laktasi di lantai lain.
“Karena (ruang laktasi) ada di lantai lain, bukan di lantai tempat kerja, kadang ‘Ah, males, kejauhan.’ Apa boleh dikata, nge-pumping ASI di meja kerja sambil pakai apron menyusui (nursing cape). Enggak apa-apa sih. Sekalian malu deh. Maklum, namanya juga sudah jadi ibu-ibu,” terang Yuli, yang menjalani masa-masa menyusui sampai tahun 2018.
Kemudian ASI yang sudah diperah disimpan di kulkas. Untuk menyimpan ASI juga harus dikasih label. Karena bukan kulkas khusus ASI, melainkan kulkas yang dipakai bersama seluruh karyawan. Dukungan kantor terhadap ketersediaan fasilitas ibu menyusui dinilai sangat membantu.
Advertisement
Tak Perlu Malu
Perihal didukung atau tidak oleh kantor, bila ibu pekerja niat menyusui maka tidak masalah harus memompa ASI di meja kantor. Bagi mereka, memerah ASI di meja kantor bisa jadi pilihan bila tidak ada ruang laktasi. Penelitian Ray justru menemukan hal menyedihkan.
“Dari 192 pekerja perempuan, ketika ditanya di mana memerah ASI. Jawabannya, sebanyak 50 persen menyebut memompa ASI di toilet atau kamar mandi. Hanya 16 persen menggunakan ruang laktasi yang disediakan di kantor/pabrik. Pekerja kantoran dengan jabatan lebih tinggi melaporkan, memerah ASI di ruang kerja sendiri karena jauh lebih nyaman,” jelas Ray.
Pekerja perempuan yang menjadi subjek penelitian Ray dengan rentang usia 20-45 tahun. Sebagian besar subjek adalah pekerja buruh dan pekerja berbasis pabrik (64,6 persen). Faktor-faktor yang terkait menyusui dilakukan secara mengidentifikasi variabel, yaitu apakah ibu pekerja bekerja sebagai fulltimer dan pengetahuan yang baik soal perilaku laktasi.
Tapi pernahkah malu harus memerah ASI di meja kantor? Tanyaku pada Yuli. Dengan wajah serius dan alis naik, Yuli mengaku, tidak malu. Peralatan menyusui sekarang sudah canggih. Tidak perlu malu lagi, terlebih lagi apron menyusui layaknya mantel yang ada lubang di kepala. Bagian dadanya dan punggung akan tertutup.
“Malunya pas di mana? Toh, depan-belakang ketutupan (apron). Jadi, orang lain enggak bakal tahu juga apa yang kita lakukan pas pakai apron. Kalau masih ada yang dibilang nge-pumping itu berisik. Sekarang udah ada lho pompa asi elektrik yang enggak keluarkan suara. Tapi agak mahal. Cuma ya itu, balik lagi ke pilihan si ibunya,” ujar Yuli, yang punya si kecil baru berusia 2 tahun.
Sebagai bahan pelengkap pompa ASI, Yuli biasa membawa alat yang manual. Kalau lupa nge-charge pompa elektrik dapat menggunakan pompa manual. Ini karena pompa elektrik hanya punya satu. Bila membawa pompa elektrik, Yuli juga harus siap bawa charger.
Perah ASI, Bekerja, dan Stres
Perlengkapan lain yang dibawa wanita yang tinggal di Cipinang, Jakarta Timur ini untuk memerah ASI, yaitu kantong ASI Perah (ASIP).
“Aku enggak suka pakai botol. Walaupun nyampah sih. Tapi menurutku lebih steril dan enggak perlu nyuci botol di rumah. Namanya juga ibu pekerja, capek juga kalau masih harus nyuci botol di rumah. Lagi pula botolnya kan kaca, takut pecah nanti,” komentar Yuli sambil tersenyum.
Untuk pembagian waktu memerah ASI selama jam kerja, ia melakukannya 2-3 kali sehari di meja kantor. Setelah cuti tiga bulan, bayi masih sering nenen (menyusui). Bila dalam jangka waktu lama tidak diperah, payudara akan keras dan sakit. Bagi ibu yang mengeluarkan ASI berlebih, ketika tidak diperah, ASI akan merembes.
“Kalau lebih tiga jam, aku merasa payudara sudah keras dan sakit. Sampai sakit kepala juga. Jadi, aku pumping jam 12 siang dan 3 sore. Buat stok, kalau pulangnya agak malam, jam 6 sore terkadang pumping,” sahut Yuli.
Untuk kantong ASIP, Yuli menggunakan ukuran 100 ml. Sekali memerah ASI bervariasi yang diperoleh. Sehari bisa 100-150 ml kantong ASI, dengan rincian sekali pompa kira-kira 50-70 ml. Namun, kendala dihadapi Yuli saat memerah ASI. Stres karena pekerjaan mengakibatkan ASI menjadi sedikit.
“Kadang kan ibu pekerja suka stres. Nah, itu memang berdampak ke jumlah ASI-nya. ASI jadi sedikit. Kadang sudah berjuang pompa gitu ya, tapi dapatnya cuma 70 ml. Bisa makin berkurang juga siang. Yang jelas stres pasti ada bagi ibu pekerja. Meski ibu pekerjanya enggak protes, tetep saja tubuh enggak bisa dibohongin,” ucap Yuli dengan nada rendah.
Advertisement
Suasana Hati yang Senang
Agar produksi ASI perah mencukupi, Yuli menyemangati diri sendiri. Bahwa setiap kali hendak memerah ASI, suasana hati dibuat senang. Ketika memerah ASI menggunakan pompa elektrik, ia masih bisa sambil mengetik pekerjaan.
Jika pompa ASI manual, tidak bisa disambi dengan mengetik. Karena dua tangan dipakai pegang pompanya.
Berjuang memerah ASI, dari awal kelahiran anak pertamanya, Yuli sebenarnya tidak pernah merasa sulit atau terbebani, antara merawat anak dan bekerja.
“Karena udah niat memberikan ASI. Apapun caranya, stok ASI harus ada. Kalau aku lagi di rumah ya nyusuin langsung. Andaikan pergi jalan-jalan keluar ajak anak, aku pakai baju menyusui. Biar bisa langsung nenen kalau dia laper,” Yuli melanjutkan.
Ia juga memerah ASI di rumah dan sebelum berangkat ke kantor. Pulang kerja tidur sebentar, lalu pukul 22.00 bangun buat memerah ASI. Sering juga pukul 01.00 dini hari dan 03.00 pagi bangun. Pukul 05.00 pagi, sebelum kerja, Yuli masih tetap memerah ASI.
“Buat tetap semangat nge-pumping, selain niat, ya makan yang banyak dan minum vitamin,” tutup Yuli sebelum mengakhiri obrolan kami malam itu.
Apa yang dilakukan Yuli berupa memerah ASI sebelum berangkat kerja, tetap membuat ia memerah ASI di kantor. Padahal, aktivitas memerah ASI sebelum berangkat kerja bisa mendorong ibu pekerja malah enggan memerah ASI di tempat kerja.
Sebanyak 3 persen ibu pekerja tidak memerah ASI di tempat kerja karena sudah melakukannya di rumah, menurut laporan penelitian Ray. Ray berpesan agar perusahaan mendukung para ibu pekerja yang menyusui.
Berdasarkan penelitian Ray tahun 2018, sukses laktasi pada ibu pekerja terbukti tidak hanya menyehatkan tumbuh kembang bayi, tapi juga membantu mempertahankan status produktivitas kerja. Temuan itu dari jurnal berjudul Developing a workplace lactation promotion model in Indonesia using Delphie technique, yang dipublikasikan pada jurnal Archives of Public Health.