Studi Terbaru Temukan Masa Inkubasi Virus Corona hingga 24 Hari?

Studi baru berdasarkan data yang dikumpulkan terhadap lebih dari 1.000 pasien virus corona di China menemukan, masa inkubasi virus tersebut mencapai 24 hari.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 12 Feb 2020, 10:02 WIB
Diterbitkan 12 Feb 2020, 10:02 WIB
Ilustrasi Sakit Flu dan Demam
Ilustrasi Sakit Flu dan Demam (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Banyak informasi menyebut, masa inkubasi infeksi virus corona atau COVID-19 adalah 7-14 hari. Namun, studi baru berdasarkan data yang dikumpulkan terhadap lebih dari 1.000 pasien virus corona di China menemukan, masa inkubasi virus tersebut mencapai 24 hari. Dan kurang dari setengah jumlah pasien yang menunjukkan gejala demam ketika memeriksakan diri ke dokter.

Melansir laman Straitstimes, studi tersebut dihasilkan oleh sedikitnya 36 peneliti dari rumah sakit-rumah sakit dan sekolah kedokteran di China. Studi ini dipimpin oleh pakar epidemiologi China Dr Zhong Nanshan yang menemukan coronavirus SARS pada 2003. Menurut studi tersebut, masih perlu penelitian mendalam mengenai virus 2019-nCoV.

Para peneliti menemukan, metode yang digunakan pada identifikasi awal kemungkinan cedera sehingga menyebabkan banyak orang yang terinfeksi tidak teridentifikasi. Gejala berupa demam hanya dialami oleh 43,8 persen pasien. Namun angka tersebut kemudian berkembang menjadi 87,9 persen yang berujung pada opname.

Tak adanya gejala demam pada kasus COVID-19 lebih sering ditemui ketimbang pada infeksi SARS dan MERS. Para penulis studi menyebut, pasien bisa saja tak terdeteksi bila titik berat surveilans hanya fokus pada deteksi demam.

Aturan terdahulu , sebelum pasien menjalani tes nucleic acid (NATs) untuk memastikan adanya infeksi virus corona, CT scan mereka harus menunjukkan tanda infeksi viral, umumnya tampak seperti atenuasi yang kabur atau bercak putih di organ dalam dada.

Hanya saja, di antara 840 pasien yang dilibatkan dalam studi yang menjalani CT scan, hanya setengah yang menunjukkan gejala atenuasi kabur dan 46 persen menunjukkan bercak putih. Ini artinya, identifikasi terhadap pasien yang terinfeksi bisa meleset jika hanya bergantung pada CT scan.

 

Simak Video Menarik Berikut Ini:


Paper Belum Dikaji Ulang

Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)
Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)

National Health Commission atau komisi kesehatan nasional China telah merevisi kriteria diagnosis virus corona pada 27 Januari 2020. Mereka tak lagi mengharuskan tes CT scan yang menunjukkan gambar pneumonia untuk mengidentifikasi kasus suspect. Kriteria baru ini meningkatkan kekhawatiran bahwa diagnosis menggunakan NATs menyebabkan banyak kasus negatif yang keliru. Beberapa dokter menyarankan agar tetap menyertakan CT scan sebagai basis kunci untuk mendiagnosis infeksi virus corona.

Studi yang dipublikasikan dalam arsip riset medis medRxiv pada Minggu (9/2) ini merupakan paper prepublikasi dan belum dikaji ulang. Karenanya disarankan untuk tak digunakan sebagai panduan praktik klinis, tulis medRxiv.

Pasien-pasien yang dilibatkan dalam studi ini berasal dari 552 rumah sakit di 31 provinsi, dengan rentang studi 1-29 Januari. Hanya 1.18 persen pasien yang melakukan kontak langsung dengan hewan liar, yang diyakini beberapa peneliti sebagai asal virus. Lalu, hanya sepertiga dari jumlah pasien yang diteliti yang pernah bepergian ke Wuhan, sedangkan 71,8 persen lainnya melakukan kontak dengan orang yang datang dari Wuhan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya