Tinggi Badan Anak Tidak Sekadar karena Genetika

Genetika baru berperan penting terhadap tinggi badan seorang anak ketika mereka memasuki usia lima ke atas

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 20 Feb 2020, 14:00 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2020, 14:00 WIB
tinggi badan
Tinggi badan anak dipengaruhi oleh gizi/copyright: pexels.com/porapak aphicodilok

Liputan6.com, Stockholm Tinggi badan anak seringkali dianggap sebagai faktor genetika. Saat melihat anak yang bertubuh tinggi atau pendek, kita pun akan penasaran bagaimana tubuh orangtuanya. Apabila anak pendek, kita akan bergumam, 'Oh, sudah keturunan ya, ibunya yang pendek.'.

Menilik fenomena tersebut, Direktur Penelitian dan Pengembangan di Pusat Nutrisi Abbott’s Asia-Pacific, Yen Ling Low bahwa tinggi badan anak tidak semata-mata dipengaruhi keturunan.

"Itu termasuk konsep yang miss perception (persepsi yang salah). Kalau di Asia tuh, orang melihat tipe tubuhnya pendek dan kecil. Artinya, kita tidak mungkin bisa (bertumbuh) panjang dan tinggi layaknya orang Eropa dan Amerika," kata wanita yang aktif menggeluti proyek-proyek dan studi nutrisi terkemuka di Singapura, Filipina, Vietnam, Tiongkok, dan India.

"Sebenarnya jika melihat itu (tinggi badan) memang ada faktor genetika. Genetika memainkan peran dalam tumbuh kembang anak. Akan tetapi tahapan lima tahun pertama (nol sampai 5 tahun) anak, pertumbuhan justru dipengaruhi oleh nutrisi," Yen menambahkan

Saat diwawancara Health Liputan6.com di sela-sela acara The 4th Annual Growth Summit 2020 di Karolinska Institute, Stockholm, Swedia beberapa hari lalu, Yen Ling menerangkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga melihat perbedaan tumbuh kembang anak di tiap-tiap negara, yang dipantau dari grafik pertumbuhan masing-masing.

"Misalnya, grafik pertumbuhan anak di Asia, Eropa, Amerika, dan Afrika kan beda-beda ya. Perbedaan tinggi badan anak di masing-masing negara itu pun dilihat dari bagaimana anak tumbuh dengan baik di lingkungannya," kata Yen Ling.

"Apakah anak tumbuh di lingkungan yang baik, higienitas bagus, dan sanitasi yang baik. Kemudian apakah nutrisi yang diberikan baik, tidak mengidap penyakit dan infeksi tertentu serta bagaimana anak dapat tumbuh ideal saat lingkungannya mendukung penuh dia tumbuh dengan baik," dia melanjutkan.

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

Antara Pendek dan Stunting

Yen Ling Low
Direktur Penelitian dan Pengembangan di Pusat Nutrisi Abbott’s Asia-Pacific, Yen Ling Low di sela-sela acara The 4th Annual Growth Summit 2020 di Karolinska Institute, Stockholm, Swedia. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Ketika kita melihat pertumbuhan anak pada etnik dan negara tertentu bisa saja rendah. Ini karena pertumbuhan anak karena higienitas kurang. Genetika tidak berperan penting di pertumbuhan lima tahun pertama anak, tapi lingkungan yang membuat mereka tumbuh. 

"Di atas umur 5 tahun, terutama saat anak memasuki usia pubertas, anak akan semakin tinggi dan tinggi. Nah, pada tahap pubertas, genetika memainkan peran penting. Ya, karena genetika termasuk faktor potensial yang tinggi. Berbeda saat 5 tahun pertama, anak yang diberi nutrisi bagus dan tumbuh pada lingkungan yang baik bisa tambah tinggi," kata Yen Ling.

"Saya pikir juga banyak kesalahpahaman di Asia, orang-orang menerima saja kalau anaknya mungkin lebih pendek. Tidak benar. Kalau kita melihat stunting di bawah 5 tahun di Asia, misalnya, anak usia 2 atau 3 tahun hampir sebagian besar orang menerima anak pendek ya stunting."

Anggapan pendek yang dikira stunting, lanjut Yen Ling, masih menunjukkan, perhatian dan kesadaran orang kurang. Dalam masalah stunting, bukan hanya persoalan anak lebih pendek, wajah dan pemikiran juga kelihatan. Wajah anak stunting akan tampak lebih muda dibanding anak seusianya.

Pertumbuhan anak terlambat dan kurus. Apalagi anak yang tampak sangat kurus.

"Kalau dokter melihat kok anak terlalu kurus, mungkin ada masalah kesehatan. Bila anak tidak terlalu kurus, tapi pendek mungkin tubuhnya memang pendek, bukan dikatakan stunting," Yen Ling melanjutkan.

Yang perlu diperhatikan, bila orang lain berkomentar anak pendek adalah normal, yang mana sebenarnya anak sudah masuk kategori stunting. Dalam kondisi ini, orang lain tidak bisa membedakan tubuh pendek dan stunting.

Dan anak tersebut tidak mendapatkan perawatan dan intervensi yang baik. Mereka akhirnya tidak berkembang secara optimal. 

"Ciri-ciri anak stunting itu tumbuh kembangnya lambat, kekurangan nutrisi, dan kesehatan menurun. Ini meningkatkan rentan anak kena infeksi penyakit. Karena perkembangan anak tidak baik, pendidikan yang diampu bisa rendah. Di tingkat negara, angka stunting yang tinggi dapat mengurangi potensi sumber daya manusia (SDM) yang baik," tegas Yen Ling.

Variasikan Makanan

Liputan 6 default 4
Ilustraasi foto Liputan 6

Untuk mendukung tinggi badan anak, nutrisi berupa pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan sangat diperlukan. Setelah 6 bulan, anak mulai perlahan-lahan mendapatkan Makanan Pendamping ASI (MPASI).

"Ketika anak mulai transisi ke makanan padat, pemilihan makanan yang baik perlu diperhatikan. Tapi makanan yang baik bukan makanan yang diberikan nenek. Suka ada kan ya, bagaimana cara nenek merawat Anda bertumbuh itu diterapkan kepada cucunya," kata Yen Ling sembari tersenyum.

"Kalau Asia biasanya karbohidrat, makan nasi. Mi juga boleh, namun untuk mengimbangi nutrisi seharusnya makan dengan berbagai macam variasi. Seperti protein daging, sayuran, dan kedelai (kacang-kacangan). Kemudian jangan sampai pula sarapan bubur setiap hari, harus variasi juga."

Beralih ke makanan padat, tantangan orangtua akan terlihat. Mungkin anak tidak doyan makan. Mereka mungkin melepehkan atau membuang makanan. Menurut Yen Ling, hal tersebut adalah wajar.

Orangtua harus bersabar diri dan mengulang dalam memberikan makan yang sama. Bahkan orangtua bisa mencoba memberikan makan kepada anak lebih dari 15 kali. 

"Jangan hanya beranggapan baru memberikan makan satu kali, anak enggak suka. Lalu berkesimpulan, "Si anak memang enggak suka makanannya," tambah pakar nutrisi ini yang memimpin tim multidisiplin 50 ilmuwan, peneliti, dan spesialis merancang dan mengembangkan inovasi nutrisi berbasis sains.

Memilih makanan dengan variasi nasi dan roti juga harus dilengkapi protein (kacang), buah, dan sayuran. Yang penting juga hindari membuat makanan sama setiap hari. 

"Kalau anak suka suatu makanan ya jangan diberikan makanan sama terus menerus. Jika anak tidak suka, coba lagi, tapi jangan setiap hari juga dengan makanan sama. Anak yang tidak makan baik, mungkin butuh vitamin juga (harus konsultasi ke dokter)," Yen Ling menuturkan.

Nutrisi dari Makanan Lokal

Liputan 6 default 3
Ilustraasi foto Liputan 6

Di Indonesia, makanan lokal menjadi salah satu asupan nutrisi yang baik untuk anak. Sebut saja singkong, pisang, ubi, kelapa, daun kelor, dan daun katuk.

Lantas apakah makanan lokal termasuk pemberian nutrisi baik untuk anak? 

"Makanan lokal juga kaya nutrisi. Tapi harus tahu juga jenisnya seperti apa. Masyarakat di Indonesia butuh edukasi dari pihak setempat. Makanan lokal apa saja yang kandungan proteinnya tinggi," Yen Ling menambahkan.

"Saya melihat di Indonesia sebenarnya mudah mendapatkan nutrisi dari pangan di sekitar lingkungan kok. Masalahnya, mengedukasi orang bagaimana memilih dan menyiapkan makanan. Contohnya, jangan terlalu banyak membumbui pedas. Beda ya sama masak untuk orang dewasa. Kalau anak kecil bumbunya sedikit saja."

Di sisi lain, pengaruh pertumbuhan anak ikut dipengaruhi dari kesehatan ibu saat hamil. Ketika ibu hamil tidak mendapatkan nutrisi yang baik, anak yang dilahirkan bisa saja punya gangguan kesehatan. Tinggi badan tidak tumbuh dengan baik, yang berujung anak stunting.

"Saya pikir, kita tidak hanya fokus pada stunting pada anak usia 2 tahun. Tapi mempersiapkan anak sejak dalam kandungan. Pada akhirnya, kita mempersiapkan generasi masa depan yang berkualitas," tutup Yen Ling.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya