Pemerintah China Akui Kemanjuran Favilavir Sebagai Obat Coronavirus COVID-19

Pemerintahan China mengumumkan, telah menyetujui antivirus favilavir untuk digunakan dalam pengobatan novel coronavirus (COVID-19).

oleh Fitri Syarifah diperbarui 21 Feb 2020, 11:15 WIB
Diterbitkan 21 Feb 2020, 11:15 WIB
Obat PCC
Ilustrasi Foto Obat (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintahan China mengumumkan, telah menyetujui antivirus favilavir untuk digunakan dalam pengobatan infeksi novel coronavirus (COVID-19).

Obat Favilavir (sebelum dirilis disebut Fapilavir) bahkan telah mendapat persetujuan dari National Medical Products Administration atas dasar kemanjuran obat terhadap virus dalam uji klinis pada 70 pasien dengan infeksi COVID-19 yang dikonfirmasi di kota Shenzhen, dilansir dari UPI.

Obat favilavir dikembangkan oleh Zhejiang Hisun Pharmaceutical Company, China, yang awalnya merupakan obat catarrhal (obat radang hidung dan tenggorokan), sekaligus merupakan salah satu dari tiga obat yang diajukan sebagai pengobatan COVID-19.

Opsi obat lainnya, yaitu remdesivir yang dikembangkan oleh produsen obat Amerika Serikat Gilead. Awalnya dimaksudkan untuk mengobati virus Ebola, dan ketika diberikan pada satu warga Amerika yang terjangkit COVID-19, pasien tersebut pulih total.

Namun, remdesivir masih menjalani uji klinis dan belum disetujui untuk mengobati COVID-19 atau Ebola.

 

Bagaimana dengan obat HIV?

Suntikan dan obat (iStock)
Ilustrasi steroid. (iStockphoto)

Sementara itu, obat lainnya yang diajukan untuk mengobati pasien terjangkit COVID-19 yaitu kombinasi HIV lopinavir plus ritonavir, dengan nama pasar Kaletra. Kombinasi tersebut berhasil mengobati pasien (54 tahun) terjangkit COVID-19.

Sama halnya dengan remdesivir, sayangnya Kaletra yang diajukan oleh dokter Korea Selatan masih harus menjalani uji klinis sebagai obat COVID-19. Jadi yang lolos baru Favilavir.

Para peneliti di China juga meminta sumbangan plasma darah dari pasien yang sembuh total dari COVID-19. Nantinya, plasma darah tersebut akan ditransfusikan ke pasien terjangkit COVID-19 sebagai terapi globulin hiperimun, sebagaimana telah digunakan selama beberapa dekade untuk pengobatan penyakit virus (termasuk difteri), papar Mike Ryan, direktur eksekutif World Health Organization's Emergencies Program, Senin 17/02/2020.

"Teorinya adalah bahwa mereka yang telah pulih dari infeksi virus memiliki antibodi terhadap penyakit dalam darah mereka. Antibodi tersebut dapat ditularkan kepada orang lain yang telah terinfeksi melalui transfusi sebagai pendorong sistem kekebalan tubuh," tutur Ryan.

Namun, kunci keefektifannya adalah waktu transfusi perlu dilakukan cukup awal saat didiagnosis positif terjangkit COVID-19, agar antibodi bekerja.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya