Jelang Idul Fitri 2020, BPOM Temukan 290.681 Pangan Kedaluwarsa dan Rusak

Jelang Idul Fitri 2020, BPOM menemukan 290.681 pangan kedaluwarsa dan rusak.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 15 Mei 2020, 20:00 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2020, 20:00 WIB
BPOM
Kepala BPOM Penny K Lukito dalam paparan Hasil Intensifikasi Pengawasan Pangan selama Bulan Ramadhan dan Menjelang Hari Raya Idul Fitri Tahun 2020, Jumat (15/5/2020) menyebut, ada 290.681 pangan kedaluwarsa dan rusak. (Dok Badan Pengawas Obat dan Makanan/BPOM)

Liputan6.com, Jakarta Jelang Idul Fitri 2020, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K Lukito menyampaikan, ada 290.681 produk Tidak Memenuhi Ketentuan (TMK), dari kedaluwarsa sampai rusak. Temuan ini merupakan hasil intensifikasi pangan yang dilakukan BPOM.

"Meski di tengah COVID-19 ini, kami tetap melakukan intensifikasi produk pangan seperti tahun-tahun sebelumnya," ujar Penny saat konferensi pers virtual 'Hasil Intensifikasi Pengawasan Pangan selama Bulan Ramadan dan Menjelang Hari Raya Idul Fitri Tahun 2020' pada Jumat (15/5/2020).

Deputi Bidang Pengolahan Makanan BPOM Reri Indriani merinci 290.681 produk pangan TMK. Dari jumlah tersebut, produk pangan kedaluwarsa berjumlah 246.498 pieces (84,80 persen), Tanpa Izin Edar (TIE) 29.748 pieces (10,23 persen), dan rusak 14.435 pieces (4,97 persen).

"Hasil intensifikasi pengawasan selama dua minggu ini dilakukan pemeriksaan terhadap 1197 sarana distribusi pangan. Masih terdapat 38,1 persen (456 sarana yang TMK karena menjual produk pangan yang rusak, kedaluwarsa atau tanpa izin edar," jelas Reri.

"Sarana distribusi importir yang dilakukan pemeriksaan, dari 318 gudang terdapat 12,26 persen yang TMK. Kita lihat di sini jumlahnya adalah 39 sarana, sedangkan sarana ritel yang TMK sebesar 47,44 persen (417 sarana).

Reri menyebut, sarana ritel TMK temuan BPOM memang lebih besar rantai distribusi dan berada di daerah perifer, yang mana masyarakat tetap membutuhkan pangan olahan kemasan, sementara pasokan pangannya tidak besar jumlahnya.

 

Sebaran Daerah Pangan Kedaluwarsa dan Rusak

BPOM
Kepala BPOM Penny K Lukito dalam paparan Hasil Intensifikasi Pengawasan Pangan selama Bulan Ramadhan dan Menjelang Hari Raya Idul Fitri Tahun 2020, Jumat (15/5/2020) menyebut, ada 290.681 pangan kedaluwarsa dan rusak. (Dok Badan Pengawas Obat dan Makanan/BPOM)

BPOM mencatat, jumlah 290.681 produk pangan TMK tersebar di sejumlah daerah. Pangan TIE ditemukan di Surakarta, Banyumas, Banggai, Manokwari, dan Sorong. Jenis pangan TIE tersebut meliputi teh, roti, makanan ringan, dan sirup.

Pangan kedaluwarsa paling banyak ditemukan di Manokwari, Sorong, Mimika, Morotai, dan Aceh Tengah. Jenis produk kedaluwarsa yang ditemukan, yakni minuman serbuk, minuman berkarbonasi, mentega, wafer, dan makanan ringan.

Temuan pangan rusak di daerah Manokwari, Gorontalo, Aceh Tengahm Sorong, dan Surakarta. Adapun jenis pangan rusak antara lain minuman berperisa, susu, krimer, biskuit, dan makanan ringan.

Lebih lanjut, Reri menambahkan, dari sarana distributor/importir, jumlah paling banyak pangan kedaluwarsa ada 232.384 pieces (90,15 persen). Begitu juga dengan sarana ritel yang banyak ditemukan pangan kedaluwarsa sebanyak 14.114 pieces (42,88 persen).

"Kalau di hulu ya gudang distributor atau importirnya dengan sebaran tinggi temuan TMK banyak di daerah Bengkulu, Aceh, Palembang, Jayapura dan, Kendari," lanjutnya.

"Sedangkan untuk ritel, jumlah temuan yang tidak memenuhi ketentuan di daerah Jayapura, Manokwari, Padang, Tasikmalaya, dan Jakarta."

 

Penyebab Banyak Produk Kedaluwarsa

Makanan Kalengan
Penyebab banyak pangan kedaluwarsa. (Foto; Pixabay)

Temuan produk yang didominasi kedaluwarsa disebabkan biasanya sarana distributor atau importir menyimpan stok untuk kebutuhan 34 bulan ke depan. Sekitar Januari atau awal Februari 2020 ketika pandemi COVID-19.

Ini akhirnya ditetapkan sebagai status darurat bencana, pelaku usaha pada saat masih menyimpan stok di dalam jumlah normal.

"Sekitar bulan Maret 2020, pendapatan mulai menurun akibat penurunan daya beli masyarakat dan banyaknya ritel yang tutup, sehingga produk dengan masa simpan pendek di distributor atau gudang importir berisiko disimpan lama," Reri menegaskan.

"Ini karena tidak sempat diedarkan karena memang daya beli masyarakat juga menurun dan ritelnya banyak yang tutup akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)."

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya