Liputan6.com, Jakarta Kehadiran antibodi memberikan secercah harapan bagi pasien yang terpapar Corona COVID-19. Antibodi yang terbentuk akan mendukung sistem kekebalan tubuh, sehingga punya daya tahan kuat terhadap virus yang masuk.
Ibarat kata, antibodi sebagai benteng pertahanan untuk perlindungan tubuh dari ancaman virus, bakteri, patogen (agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inang/mikroorganisme parasit), dan zat-zat penyebab infeksi.
Sebuah informasi pun menyeruak terkait kesembuhan pasien COVID-19 dan antibodi, ‘Lalu kenapa ada pasien sembuh? Pasien bukan sembuh. Tapi antibodi berhasil membasmi virus dalam tubuhnya. Hanya dengan mengatur pola hidup.’
Advertisement
Selanjutnya, ‘Kenapa ada pasien meninggal? Karena antibodi dalam tubuh semakin sedikit jumlahnya, sedangkan virus semakin bertambah. Jadi, antibodi adalah obat corona? Bukan. Antibodi adalah ciptaan Tuhan yang diletakkan dalam tubuh manusia untuk melawan virus.’
Apakah informasi di atas benar? Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian, Juru Bicara Satuan Tugas COVID-19 RS Universitas Sebelas Maret (UNS) Tonang Dwi Ardyanto meluruskan informasi terkait antibodi dan pasien COVID-19.
“Kok bisa sembuh? Ya, karena infeksi virus secara umum memang bersifat self-limiting disease. Artinya, penyakit yang proses infeksinya akan berakhir dengan sendirinya, baik dengan atau tanpa terapi,” papar Tonang saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan tertulis, ditulis Minggu (16/8/2020).
“Kuncinya, ditentukan oleh daya tahan tubuh dan sifat patogennya. Contoh yang mudah adalah common cold (pilek), flu and conjunctivitis (peradangan, infeksi virus influenza).”
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Perawatan untuk Kesembuhan
Tonang menjelaskan, apabila tubuh berhasil melewati fase infeksi, maka pasien COVID-19 akan sembuh. Tapi kondisi sembuhnya bisa bervariasi, sesuai dengan kondisi tubuh selama menghadapi fase infeksi. Lama waktu kesembuhan pasien pun berbeda-beda.
Bagi pasien COVID-19, khususnya gejala berat, seperti sesak napas dan perlu penggunaan ventilator membutuhkan perawatan di rumah sakit. Kondisi pasien setiap hari dicek setiap hari. Perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit sebagai terapi untuk membersihkan virus. Walaupun belum ada obat COVID-19 yang spesifik, penggunaan obat bertujuan menghilangkan gejala COVID-19.
Penelitian obat untuk melawan COVID-19 terus diteliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Pada Juni 2020, Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Stem Cell Unair Purwati mengabarkan temuan kombinasi obat COVID-19 yang berpotensi menekan virus Corona, bahkan sampai tidak terdeteksi.
Ada lima kombinasi regimen obat yang mempunyai potensi dan efektivitas yang cukup bagus menghambat virus Corona masuk ke sel target jjuga menghambat serta menurunkan perkembangbikan virus di sel. Kelima kombinasi obat ini adalah lopinavir/ritonavir dengan azithromycin, lopinavir/ritonavir dengan doxycycline, lopinavir/ritonavir dengan claritromycine, hydroxychloroquine dengan azithromycin, dan hydroxychloroquine dengan doxycycline.
Pada waktu itu, Purwati menegaskan, kombinasi obat di atas belum dijualbelikan. Kabar terbaru pada 14 Agustus 2020, Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Mohammad Nasih akan menyerahkan hasil uji klinis fase ketiga lima kombinasi obat penawar COVID-19 ke Jakarta. Penyerahan direncanakan pada 16 Agustus 2020.
Kelima kombinasi obat penawar COVID-19 harus terlebih dahulu mendapat izin edar dan produksi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Jenderal TNI Andika Perkasa mengungkapkan, obat COVID-19 telah selesai uji klinis tahap tiga oleh Unair, sehingga saat ini tinggal menunggu izin edar dari BPOM. Jika izin produksi dan izin edar telah didapat dari BPOM, Nasih optimistis lima kombinasi obat penawar COVID-19 akan dapat diedarkan pada September 2020.
Perawatan pasien COVID-19 bertujuan menjaga dan meningkatkan daya tahan tubuh agar mampu melawan virus. Untuk meningkatkan sistem imun tubuh, pasien COVID-19 tidak hanya didukung antibodi saja, melainkan sistem lain dalam tubuhnya.
“Karena daya tahan tubuh, sistem imun, yang utama harus didukung juga sistem-sistem lainnya dalam tubuh manusia,” jelas Tonang.
Advertisement
Pertahanan Sistem Imun
Antibodi merupakan salah satu bagian dari sistem imun. Tonang menyampaikan, ada bagian lain sistem imun yang juga berperan secara seluler dan humoral. Kedua sistem imun tersebut bagian dari sistem imun spesifik.
Sistem pertahanan ini sangat efektif memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu, sehingga mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari. Sistem imun seluler sebagai pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler (bakteri yang hanya dapat hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes/sel yang ditumpangi/inang), virus, jamur, dan parasit.
Pada sistem imun seluler, ada peran limfosit T atau yang dikenal sel T. Sel T merupakan kelompok sel darah putih berperan kekebalan seluler. Sel T mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terpapar patogen.
Sistem imun humoral yang memainkan peran adalah limfosit B atau sel B. Sel B yang dirangsang oleh benda asing (antigen) akan berproliferasi (fase sel saat mengalami pengulangan siklus sel tanpa hambatan), berdiferensiasi (proses menjadi jenis sel yang lebih khusus). Kemudian berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi.
Fungsi utama sel B untuk membuat antibodi melawan antigen demi pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler (bakteri yang dapat menimbulkan penyakit), virus, dan bakteri serta menetralkan toksin (racun).
“Agar semua sistem berfungsi baik, ada peran makanan, paparan patogen dari sekitar, termasuk peran perkembangan sistem imun dan adanya penyakit penyerta,” jelas Tonang.
Ahli gizi Hilna Khairunissa pernah menyampaikan, buah dan sayur adalah kunci dasar kesehatan yang dapat memberikan serat dan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Buah dan sayur yang dapat meningkatkan sistem imun, di antaranya jeruk, paprika merah, brokoli, bayam, pepaya, dan kiwi.
Serat dengan kualitas yang baik akan membuat pencernaan sehat. Pencernaan sehat maka imun tubuh pun jadi kuat. Penelitian menunjukan 70 persen sel imun terdapat di dalam sistem pencernaan.
Pola Infeksi Virus
Pada pasien COVID-19 yang meninggal dipicu adanya penyakit komorbid (penyerta) yang diidap. Grafik data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 dalam laman covid19.go.id mencatat penyakit penyerta pada kasus pasien positif COVID-19 yang meninggal antara lain, hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit paru obstruktif kronis.
Adapun gejala klinis positif COVID-19 yang mana pasien meninggal dunia, yakni batuk, sesak napas, riwayat demam, lemas, dan demam. Kondisi pasien yang meninggal tersebut bukan dipersepsikan semata-mata karena antibodi yang semakin sedikit dan virus makin bertambah.
“Kejadian pasien yang meninggal karena tubuh tidak bertahan melewati fase infeksi. Penyebabnya, tidak hanya faktor imun yang lemah, tetapi juga sistem-sistem tubuh lain yang tidak mampu dipertahankan,” Tonang menegaskan.
“Bila kondisi infeksi menimbulkan kondisi yang berat, maka ada kemungkinan tubuh tidak mampu merespons infeksi dengan pembentukan antibodi yang adekuat (normal). Akibatnya, terjadi respons imun yang hebat, yang dikenal dengan badai sitokin. Kondisi ini membuat sistem-sistem tubuh yang lain tidak mampu bertahan.”
Pola infeksi Corona ke dalam tubuh terjadi saat virus masuk ke sel dan diikat oleh reseptor ACE 2. Reseptor untuk virus Corona ini berada di bagian belakang rongga hidung dan mulut (nasofaring dan orofaring) sampai ke pembuluh napas di bagian dalam paru. Ketika virus berhasil menguasai sel tubuh, dia akan cepat berkembangbiak.
Tonang menuliskan respons awal imun terhadap adanya virus asing Corona yang masuk adalah berupaya membersihkan virus tersebut. Pada tahap ini terjadi perlawanan imun tubuh yang mana menimbulkan gejala batuk dan demam. Demam yang muncul justru dipengaruhi respons imun lebih intensif memerangi virus asing yang masuk.
Semakin banyak jumlah virus dan semakin kuat sistem imun tubuh, maka semakin terasa gejalanya, tetapi juga semakin cepat membersihkan virus. Pada tahap ini, tubuh dalam kondisi aman karena virus tidak sempat sampai masuk jauh ke dalam paru-paru.
“Respons imun yang ada tidak hanya membentuk antibodi, tapi juga membentuk sel memori. Sel berfungsi menyimpan data data dan mampu mengenali bila 'musuh' tertentu kembali datang,” tulis Tonang.
Advertisement
Terjadinya Badai Sitokin
Kinerja respons imun dan pola infeksi virus Corona hingga pasien sembuh secara umum berhasil, sehingga pasien COVID-19 sembuh dan terbentuk kekebalan tubuh. Namun, ada kondisi saat respons imun tidak kuat melawan virus, bahkan bisa saja respons terlalu hebat.
Pada kondisi ini, sistem imun gagal melawan virus, yang berujung virus mengambil alih sel tubuh dan berkembangbiak berlipat ganda. Kondisi ini menunjukkan respons imun tidak adekuat (tidak memadai melawan virus). Akibatnya, virus Corona menyerang dan berkembangbiak di sel-sel saluran napas.
Infeksi saluran napas pun terjadi berupa pneumonia. Jika tidak segera diberikan perawatan, pasien akan mengalami gagal napas. Kegagalan fungsi organ ini bisa meluas ke organ-organ lain, seperti otak, ginjal, jantung, liver, dan saluran pencernaan. Kegagalan fungsi multi organ ini terjadi pada pasien COVID-19 kritis, yang berujung kematian.
“Ketika respons imun tubuh tidak berlangsung baik karena tidak terbentuk atau antibodinya tidak adekuat, maka jumlah virus Corona bisa berlipat ganda. Pasien pun akan mengalami kondisi sakit berat. Kondisi ini pun membuat penularan virus Corona tinggi,” jelas Tonang.
Pergulatan melawan virus Corona dapat menimbulkan badai sitokin (cytokine storm). Sitokin adalah protein dalam sistem imun sebagai penanda sinyal sel. Sitokin mengatur interaksi antar sel dan memicu reaktivitas imun. Jika virus yang masuk termasuk baru (belum terekam dalam sistem kekebalan tubuh) dan daya patogennya tinggi, maka pelepasan sitokin bisa menjadi tidak terkendali.
Tahap kondisi ini disebut badai sitokin, yang menimbulkan peradangan, masuknya cairan ke kantung udara paru-paru (alveoli), yang mengakibatkan gangguan organ tubuh lainnya.
Gangguan organ yang berujung kegagalan fungsi organ saat terjadi badai sitokin, seperti paru paru atas bengkak dan jantung mengalami miokarditis (peradangan otot jantung) dikenal dengan istilah Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS). Kondisi ini bisa mengakibatkan kematian.
Pasien COVID-19 yang kritis didera badai sitokin dapat kesulitan bernapas. Untuk mendukung oksigen, ditopang lewat ventilator.
“Mengapa harus pakai ventilator? Karena ventilator berusaha menjaga dan mempertahankan kondisi tubuh tetap optimal, sampai proses infeksi dan kondisi kritisnya terlewati,” tutur Tonang yang merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia (PDS Patklin).
“Derajat penggunaan alat ventilator bervariasi sesuai kondisi pasien. Jadi, antar pasien tidak sama kondisinya walau sama-sama menggunakan alat tersebut.”
Isolasi di Rumah Sakit
Tonang menambahkan, pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit termasuk menerima perawatan isolasi. Salah satu fasilitas rumah sakit yang menangani COVID-19 dengan adanya ketersediaan ruang isolasi.
Isolasi adalah proses mengurangi risiko penularan melalui upaya memisahkan individu yang sakit, baik yang sudah dikonfirmasi laboratorium atau mengalami gejala COVID-19.
“Isolasi itu berarti dipisahkan karena sudah terbukti positif, agar tidak menularkan ke orang lain. Prinsipnya, mencegah penularan,” tambah Tonang.
“Selama pasien diisolasi, pemberian terapi (berupa obat-obatan) menyesuaikan berat ringannya gejala yang timbul. Pemberian vitamin dan penunjang daya tahan tubuh juga dilakukan. Prinsip perawatan ini demi mempertahankan kondisi tubuh selama selama infeksi masih aktif.”
Perawatan intensif diharapkan pasien sembuh dan infeksi akibat COVID-19 hilang. Antibodi pada pasien sembuh diharapkan terbangun, sehingga sistem imun kuat. Bila pasien sembuh COVID-19 terinfeksi kembali (reinfeksi) bisa terjadi karena ada mutasi virus yang belum terekam memori pada sel tubuh.
Kondisi tubuh yang lemah dan paparan virus terlalu banyak meski virus sudah terekam bisa juga mengalami reinfeksi. Ini juga didorong respons imun tidak bekerja dengan baik.
Oleh karena itu, menjaga antibodi dan sistem imun menjadi upaya yang dapat dilakukan. Selain makanan, kondisi mental tubuh ikut mendorong kuatnya antibodi dan sistem imun. Cukup istirahat, berpikir positif, dan gembira.
“Kondisi stres yang terukur (dikontrol/dikendalikan), membuat tubuh berespons memperkuat diri. Sistem imun ikut menguat. Tapi stres berlebih akan menguras energi dan mengganggu sistem tubuh, termasuk sistem imun. Akibatnya, tubuh menjadi lemah,” tutup Tonang.
Advertisement