Liputan6.com, Jakarta UNICEF mengungkapkan bahwa sekitar sepertiga anak sekolah di seluruh dunia tidak memiliki akses pembelajaran jarak jauh yang merupakan dampak penutupan sekolah akibat pandemi COVID-19.
"Setidaknya 463 juta anak yang sekolahnya tutup karena COVID-19, tidak ada pembelajaran jarak jauh," kata Henrietta Fore, Direktur Eksekutif UNICEF dikutip dalam laman resmi UNICEF pada Senin (31/8/2020).
Baca Juga
"Banyaknya anak-anak yang pendidikannya benar-benar terganggu selama berbulan-bulan, ini merupakan keadaan darurat pendidikan global," Fore menambahkan.
Advertisement
Ia mengatakan, dampak dari kejadian ini bisa dirasakan di sektor ekonomi dan masyarakat selama beberapa dekade mendatang.
Dalam laporan yang dihimpun oleh UNICEF, pada puncak karantina wilayah secara nasional dan lokal, sekitar 1,5 miliar anak sekolah terdampak penutupan sekolah. Mereka juga mengungkapkan adanya keterbatasan dari pembelajaran jarak jauh dan ketidaksetaraan terkait akses.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Masalah Lain
Data dari UNICEF dihimpun menggunakan analisis representasi global mengenai ketersediaan peralatan dan teknologi di rumah yang diperlukan untuk pembelajaran jarak jauh di kalangan anak-anak sekolah pra-sekolah dasar, sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas di 100 negara.
Data termasuk akses ke televisi, radio, internet, serta ketersediaan kurikulum yang disampaikan melalui platform tersebut selama penutupan sekolah.
Selain kurangnya akses pembelajaran jarak jauh, UNICEF juga memperingatkan situasinya bisa lebih buruk dari itu.
Sekalipun anak-anak memiliki teknologi dan peralatan untuk belajar di rumah, mereka mungkin tidak dapat melakukan kegiatan tersebut karena berbagai faktor lain seperti tekanan pekerjaan rumah, keterpaksaan untuk bekerja, lingkungan yang buruk untuk belajar, serta kurangnya dukungan dalam menggunakan kurikulum daring atau lewat siaran.
Dalam laporannya, UNICEF menyoroti anak-anak di wilayah Afrika sub-Sahara menjadi yang paling terdampak. Sekitar setengah dari seluruh pelajar di sana tidak dapat menjangkau pembelajaran jarak jauh.
Â
Advertisement
Pembukaan Sekolah dan Rencana Keberlanjutan
Selain itu, anak-anak dari rumah tangga termiskin dan mereka yang tinggal di daerah pedesaan merupakan yang paling besar potensi untuk tidak bisa mengikuti sekolah daring selama karantina.
Secara global, 72 persen anak sekolah yang tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh hidup di wilayah termiskin di negara mereka. Sementara di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas, 86 persen anak sekolah dari rumah tangga miskin tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh.
Secara global, tiga per empat anak sekolah tanpa akses hidup di daerah pedesaan.
UNICEF pun meminta pemerintah di seluruh dunia untuk memprioritaskan pembukaan sekolah secara aman apabila karantina mulai dilonggarkan.
Apabila tidak memungkinkan untuk pembukaan, mereka meminta pemerintah memasukkan pembelajaran yang bersifat kompensasi untuk waktu-waktu belajar yang hilang dalam rencana keberlanjutan dari pembukaan kembali sekolah.
Mereka mengatakan, kebijakan dan praktik pembukaan sekolah harus mencakup perluasan akses pendidikan termasuk pembelajaran jarak jauh, khususnya bagi kelompok-kelompok marjinal. Selain itu, sistem pendidikan juga harus diadaptasi dan dibangun untuk menghadapi krisis di masa depan.