UNICEF: 463 Juta Anak di Dunia Tak Punya Akses Pembelajaran Jarak Jauh

UNICEF mengatakan kondisi ini merupakan keadaan darurat pendidikan global

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 01 Sep 2020, 07:00 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2020, 07:00 WIB
Diperpanjang Sampai 20 Mei, Siswa Belajar Online di Rumah
Siswa sekolah dasar belajar online menggunakan aplikasi Zoom Cloud Meetings di Pamulang Tangerang Selatan, Kamis (2/4/2020). Gelombang work from home (WFH) membuat kebutuhan terhadap aplikasi video conference meningkat saat pandemi Corona Covid-19. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta UNICEF mengungkapkan bahwa sekitar sepertiga anak sekolah di seluruh dunia tidak memiliki akses pembelajaran jarak jauh yang merupakan dampak penutupan sekolah akibat pandemi COVID-19.

"Setidaknya 463 juta anak yang sekolahnya tutup karena COVID-19, tidak ada pembelajaran jarak jauh," kata Henrietta Fore, Direktur Eksekutif UNICEF dikutip dalam laman resmi UNICEF pada Senin (31/8/2020).

"Banyaknya anak-anak yang pendidikannya benar-benar terganggu selama berbulan-bulan, ini merupakan keadaan darurat pendidikan global," Fore menambahkan.

Ia mengatakan, dampak dari kejadian ini bisa dirasakan di sektor ekonomi dan masyarakat selama beberapa dekade mendatang.

Dalam laporan yang dihimpun oleh UNICEF, pada puncak karantina wilayah secara nasional dan lokal, sekitar 1,5 miliar anak sekolah terdampak penutupan sekolah. Mereka juga mengungkapkan adanya keterbatasan dari pembelajaran jarak jauh dan ketidaksetaraan terkait akses.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini


Masalah Lain

Sekolah-Sekolah di Uganda Tawarkan Kelas Daring
Para guru taman kanak-kanak tampil selama kelas daring di Kampala, ibu kota Uganda, pada 22 Agustus 2020. Sebagai langkah untuk membatasi penyebaran COVID-19, sekolah-sekolah di negara Afrika timur itu mulai menawarkan kelas daring. (Xinhua/Nicholas Kajoba)

Data dari UNICEF dihimpun menggunakan analisis representasi global mengenai ketersediaan peralatan dan teknologi di rumah yang diperlukan untuk pembelajaran jarak jauh di kalangan anak-anak sekolah pra-sekolah dasar, sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas di 100 negara.

Data termasuk akses ke televisi, radio, internet, serta ketersediaan kurikulum yang disampaikan melalui platform tersebut selama penutupan sekolah.

Selain kurangnya akses pembelajaran jarak jauh, UNICEF juga memperingatkan situasinya bisa lebih buruk dari itu.

Sekalipun anak-anak memiliki teknologi dan peralatan untuk belajar di rumah, mereka mungkin tidak dapat melakukan kegiatan tersebut karena berbagai faktor lain seperti tekanan pekerjaan rumah, keterpaksaan untuk bekerja, lingkungan yang buruk untuk belajar, serta kurangnya dukungan dalam menggunakan kurikulum daring atau lewat siaran.

Dalam laporannya, UNICEF menyoroti anak-anak di wilayah Afrika sub-Sahara menjadi yang paling terdampak. Sekitar setengah dari seluruh pelajar di sana tidak dapat menjangkau pembelajaran jarak jauh.

 


Pembukaan Sekolah dan Rencana Keberlanjutan

Siswa SD Mendaki Bukit Agar Bisa Belajar Online
Siswa sekolah dasar mengikuti pembelajaran secara online menggunakan smartphone mereka di bukit Temulawak, Yogyakarta, Jumat (8/5/2020). Mereka harus ke atas bukit untuk mendapat sinyal yang bagus agar kegiatan belajar secara online dapat berlangsung. (AGUNG SUPRIYANTO/AFP)

Selain itu, anak-anak dari rumah tangga termiskin dan mereka yang tinggal di daerah pedesaan merupakan yang paling besar potensi untuk tidak bisa mengikuti sekolah daring selama karantina.

Secara global, 72 persen anak sekolah yang tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh hidup di wilayah termiskin di negara mereka. Sementara di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas, 86 persen anak sekolah dari rumah tangga miskin tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh.

Secara global, tiga per empat anak sekolah tanpa akses hidup di daerah pedesaan.

UNICEF pun meminta pemerintah di seluruh dunia untuk memprioritaskan pembukaan sekolah secara aman apabila karantina mulai dilonggarkan.

Apabila tidak memungkinkan untuk pembukaan, mereka meminta pemerintah memasukkan pembelajaran yang bersifat kompensasi untuk waktu-waktu belajar yang hilang dalam rencana keberlanjutan dari pembukaan kembali sekolah.

Mereka mengatakan, kebijakan dan praktik pembukaan sekolah harus mencakup perluasan akses pendidikan termasuk pembelajaran jarak jauh, khususnya bagi kelompok-kelompok marjinal. Selain itu, sistem pendidikan juga harus diadaptasi dan dibangun untuk menghadapi krisis di masa depan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya