Banyak Tenaga Kesehatan Alami Burnout Selama Pandemi, Kualitas Layanan Bisa Terdampak

Risiko burnout yang dialami oleh tenaga kesehatan juga bisa berdampak pada kualitas layanan kesehatan di Indonesia

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 07 Sep 2020, 10:01 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2020, 10:01 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi dokter. (dok. unsplash/@ashkfor121)

Liputan6.com, Jakarta Kondisi burnout syndrome atau keletihan mental menjadi salah satu masalah kesehatan jiwa yang banyak mengganggu kinerja para tenaga kesehatan di masa pandemi COVID-19.

Sebuah studi yang beberapa waktu lalu dilakukan oleh Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengungkapkan, 83 persen tenaga kesehatan mengalami burnout syndrome sedang dan berat selama pandemi COVID-19.

Ketua Tim Peneliti yang juga dokter spesialis okupasi Dewi Soemarko mengatakan, burnout syndrome yang dialami tenaga kesehatan memiliki implikasi jangka panjang.

Dewi menjelaskan apabila seorang tenaga kesehatan merasakan keletihan secara emosional, imbasnya adalah kehilangan motivasi yang jelas untuk bekerja.

"Kalau dia kehilangan rasa percaya diri bagaimana dia mau melakukan suatu pekerjaan itu dengan baik dan benar. Itu bahaya sekali," kata Dewi dalam temu media secara virtual pada pekan lalu, ditulis Senin (7/9/2020).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini


Berpengaruh pada Kualitas Layanan

tim dokter di kamar isolasi PDP
tim medis RSUD Anutapura Palu memeragakan penanganan PDP covid-19 dalam simulasi persiapan penggunaan ruang isolasi. (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto).

"Jadi implikasi di masa akan datang, yang kita maksud adalah kinerja dari tenaga medis," kata Dewi.

Dalam studi yang dilakukan Dewi dan timnya ditemukan bahwa sebanyak 82 persen tenaga kesehatan mengalami burnout syndrome tingkat sedang selama masa pandemi COVID-19. Sementara 1 persennya mengalami burnout syndrome tingkat berat.

Burnout syndrome sendiri merupakan sebuah sindrom psikologis akibat respon kronik terhadap stresor atau konflik dengan tiga gejala yang umum seperti keletihan emosi, kehilangan empati, dan berkurangnya rasa percaya diri.

"Begitu dalam posisi moderate atau sedang, mereka harus dibantu. Jangan sampai jatuh ke keadaan yang berat. Kalau sudah jatuh ke keadaan yang berat jadi lebih susah menolongnya dan perlu psikiater."

Anggota tim peneliti lainnya, dokter Ray W. Basrowi juga sependapat dengan Dewi. Ia mengatakan bahwa efeknya bisa berdampak juga pada sistem layanan kesehatan di Indonesia.

"Untuk jangka panjangnya bisa perpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan di bangsa ini," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya