Guru Besar UI: Cegah Stunting Sejak Calon Ibu Masih Remaja

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Purnawan Junadi mengatakan, upaya mencegah stunting atau kurang gizi kronis bisa dimulai sejak calon ibu berusia remaja.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Okt 2020, 06:00 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2020, 06:00 WIB
Kampanye Pencegahan Dini Stunting pada Anak
Seorang anak sedang mengukur tinggi badan dalam kampanye perubahan prilaku mendukung percepatan pencegahan stunting di Jakarta, Rabu (2/10/2019). Perwakilan pemda se Indonesia memperoleh bimbingan dari GAIN dalam meningkatkan perilaku gizi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Purnawan Junadi mengatakan, upaya mencegah stunting atau kurang gizi kronis bisa dimulai sejak calon ibu berusia remaja.

Para perempuan yang nantinya menjadi calon ibu juga harus tercukupi asupan gizinya agar tidak terkena anemia saat remaja hingga saat hamil dan melahirkan anak. Dengan demikian, upaya pencegahan stunting tidak hanya sejak anak berusia 1.000 hari pertama saja.

"Kalau mau mencegah stunting, mulai dari sebelum hamil, sekarang harusnya jadi primer," ujar Purnawan dalam diskusi media via daring tentang kemitraan multisektor dalam upaya penurunan stunting di Indonesia, Rabu (21/10/2020), melansir Antara.

Saat seorang ibu hamil, konsumsi tablet tambah darah (TTD) bagi mereka yang anemia dan pemeriksaan kadar haemoglobin (Hb) juga diperlukan untuk memastikan mereka tidak mengalami anemia selama hamil. Ibu hamil anemia bisa berisiko membuat dia melahirkan bayi stunting atau gagal tumbuh karena kurang gizi kronis.

Usai ibu melahirkan, bayi perlu mendapat ASI eksklusif selama enam bulan bersamaan dengan imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal, lalu asupan MPASI atau makanan pendamping ASI yang bergizi di usia 18 bulan dan stimulasi psikososial di 36 bulan berikutnya. Di sisi lain, akses air bersih lalu sanitasi yang sehat juga turut menjadi perhatian.

"1.000 hari pertama kelahiran yakni 9 bulan dalam kandungan dan dua tahun setelah kelahiran. Fokus di tablet tambah darah, enam bulan pertama fokus di ASI eksklusif, 18 bulan MPASI berjalan maka stunting menurun, imunisasi, dan WASH (Pengendalian Infeksi/Air, Sanitasi, dan Kebersihan)," kata Purnawan.

 

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

Kendala dan Upaya Pemerintah

Purnawan mencatat, upaya pencegahan stunting di Tanah Air saat ini masih terkendala beberapa hal. Antara lain, tingkat asupan tablet tambah darah 90 tablet pada ibu hamil anemia baru mencapai 37,7 persen dan baru sekitar 48,7 persen ibu hamil yang memeriksakan kadar Hb mereka.

Pada anak, pemberian ASI eksklusif enam bulan baru mencakup 37 persen, MPASI di usia 18 bulan bahkan belum mencapai 40 persen, sementara cakupan imunisasi dasar lengkap baru menyentuh angka 57,9 persen dan akses air bersih tak sampai 50 persen.

"Anemia masih tinggi yakni 49 persen. Anemia remaja 84 persen, masih tinggi," jelas Purnawan.

Di sisi lain, Purnawan melihat angka perkawinan anak dan hamil dalam usia muda di bawah 18 tahun masih tinggi di 435 kabupaten di Indonesia. Kehamilan pada usia di bawah 20 tahun atau saat psikologis wanita cenderung belum matang, lalu dia bisa saja belum memiliki pengetahuan cukup mengenai kehamilan dan sebenarnya masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun.

Dalam kesempatan itu, Direktur Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dr Riskiyana Sukandhi Putra mengatakan, pencegahan stunting menjadi prioritas pemerintah dan masyarakat di semua tingkatan baik di pusat maupun daerah.

Upaya ini mencakup edukasi peningkatan kesadaran publik dan perubahan perilaku masyarakat terkait stunting, memperkuat konvergensi melalui koordinasi dan konsolidasi program dan kegiatan dari pusat sampai tingkat desa, meningkatkan akses terhadap makanan bergizi, mendorong ketahanan pangan, meningkatkan pemantauan dan evaluasi sebagai dasar memastikan pemberian makanan dan layanan bermutu.

"Kalau bicara masalah stunting bukan hanya bicara melawan stunting tetapi juga bicara bagaimana melawan masa depan yang buruk. Kita akan kehilangan generasi emas manakala kita salah mengambil intervensi dan bonus demografi tidak dapat kita raih," kata dia.

Riskiyana mengatakan, para pemangku kepentingan bersama masyarakat perlu bekerja sama walaupun saat ini dunia menghadapi situasi pandemi COVID-19.

"Kita perlu masyarakat berperan dalam berperilaku karena upaya promotif dan preventi dilakukan sejak dini bahkan sejak anak itu usia remaja supaya tidak jatuh dalam kondisi kurang kalori, protein yang bersifat kronis sampai saatnya dia hamil dan melahirkan tidak jatuh dalam kondisi itu," kata Riskiyana.

Infografis

Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi
Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya