Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu lalu, ada sebuah studi yang melaporkan potensi darah komodo untuk mengatasi bakteri yang resisten antibiotik.
Dalam penelitian yang dimuat di Journal of Medical Microbiology, Monique Van Hoek dari George Mason University's School of Systems Biology dan rekan-rekannya mencoba mengembangkan antibiotik baru bernama DRGN-6.
Baca Juga
Para peneliti melakukannya dengan menggabungkan dua gen yang ditemukan dalam darah komodo.
Advertisement
Dikutip dari New York Post pada Minggu (22/11/2020), dalam uji praklinis, DRGN-6 dilaporkan mampu membunuh bakteri yang resisten obat yaitu Klebsiella pneumoniae.
Dalam studi yang serupa oleh tim yang sama pada 2017, molekul lain DRGN-1 yang ditemukan dalam darah komodo, juga membantu menyembuhkan luka yang disebabkan infeksi Staph oleh tikus.
Menurut Perwakilan World Health Organization (WHO) di Indonesia, Benyamin Sihombing, mengatakan bahwa temuan potensi obat dalam darah komodo tersebut masihlah sebuah penelitian.
"Jadi ini masih dalam tahap penelitian, masih panjang penelitiannya, untuk memastikan bahwa zat yang ditemukan tersebut memang aman untuk tubuh. Jadi membutuhkan waktu," kata Benyamin pada Health Liputan6.com dalam sebuah temu media secara virtual beberapa waktu lalu.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Bakteri di Mulut Komodo
Benyamin mengungkapkan, memang dalam di dalam liur komodo mengandung banyak bakteri. Itulah mengapa, orang atau hewan dapat mengalami infeksi besar dan dapat berujung pada kematian.
Dilaporkan bahwa setidaknya terdapat lebih dari 80 strain bakteri pada mulut komodo, yang beberapa di antaranya mengandung racun dan berbahaya bagi manusia atau hewan lain.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Van Hoek menyebutkan, bahwa komodo tidak terpengaruh oleh bakteri yang ada di mulutnya.
"Imunitas mereka cenderung berbeda... dan melindungi mereka terhadap bakteri," kata Van Hoek.
Hal tersebutlah yang membuat reptil yang hidup di Indonesia ini, berhasil bertahan hidup meski mereka memiliki bakteri di kondisi tempat mereka hidup.
Van Hoek mengatakan, studi yang mereka lakukan merupakan sebuah "langkah kritis yang pertama." Namun, paling tidak dibutuhkan waktu hingga 10 tahun sebelum DRGN-6 benar-benar tersedia di masyarakat.
Para tim saat ini masih harus meneliti molekul tersebut, untuk memastikan mereka tidak berbahaya bagi sel darah merah, sebagai efek samping.
Advertisement