Liputan6.com, Jakarta - Coronasomnia mungkin istilah yang asing di telinga tapi bisa jadi hal yang sedang dialami Anda. Konsultan pulmonologi dan ahli pengobatan tidur Rumah Sakit Fortis, Mulund, India dr. Anshu Punjabi menyebut coronasomnia sebagai peningkatan risiko insomnia yang menyebabkan orang sulit maupun terus terbangun pada malam hari.
"Para ahli menyebutnya coronasomnia, suatu kondisi yang disebabkan oleh stres yang dipicu oleh pandemi. Harap diperhatikan, bukan virus yang menyebabkannya, tetapi situasinya," kata Punjabi dikutip dari Indian Express.
Baca Juga
Menurut praktisi kesehatan tidur, dr Andreas Prasadja RPSGT dari RS Mitra Keluarga Kemayoran Jakarta, coronasomnia tidak semata-mata terjadi karena stres akibat pandemi tetapi efek dari isolasi. Ia mengungkapkan, mayoritas aktivitas seseorang ketika terisolasi cenderung monoton dan didominasi dengan tidur.
Advertisement
Selain itu, pencahayaan yang sama antara siang dan malam juga jadi pemicunya. Hal ini membuat irama sirkadian seseorang jadi tergangguu. Lalu, otak kebingungan dalam merespons sehingga menjadi sulit tidur.
“Insomnia itu baru gejala sama seperti demam. Penyakitnya bisa banyak lagi, yang paling banyak diderita itu psychophysiological insomnia, kemudian circadian rhythm disorder, delayed sleep phase, poor sleep habits,” kata Andreas dalam siaran langsung Instagram dalam memperingati Hari Kesehatan Tidur Sedunia (World Sleep Day) 2021.
Simak juga video berikut
Tidur Pengaruhi Daya Tahan Tubuh
Andreas mengungkapkan daya tahan tubuh manusia bekerja optimal pada saat tidur. Menurutnya, salah satu penelitian menunjukkan bahwa orang dengan efisiensi tidur yang buruk dalam satu minggu sebelum diekspos dengan virus flu, ketika terpapar virus tersebut tersebut maka akan jadi sakit.
“Sleep efficiency normal itu 85 persen. Pada penelitian ini yang di bawah 92 persen aja kena flu,” ungkapnya.
Lalu, dalam sebuah studi mengenai efektivitas vaksin, hasil menunjukkan vaksin akan direspons dengan baik oleh tubuh ketika cukup tidur. Oleh karena itu, sangat disarankan dalam 1 minggu sebelum divaksin harus cukup tidur. Untuk orang dewasa kebutuhan tidurnya sekitar 7 sampai 9 jam per hari.
“Tidur itu yang penting durasinya cukup, kontinyu, dan kualitasnya baik. Kalau kualitasnya baik tapi durasinya kurang ya kurang,” tegas Andreas.
Salah satu cara mengukur kualitas tidur selain dengan melihat gelombang otak adalah dengan menilai bagaimana keadaan tubuh saat bangun di pagi hari dan beraktivitas tanpa tambahan nikotin atau kafein.
“Kalau setiap beraktivitas kita butuh kafein bisa jadi tidur anda kurang sehat,” kata Andreas.
Penulis: Abel Pramudya Nugrahadi
Advertisement