Ahli Mikrobiologi: Kekebalan Kelompok Lindungi Orang yang Belum Divaksin

Dengan cakupan 70 persen dari populasi yang menerima vaksin COVID-19, maka orang-orang yang belum divaksin akan terlindungi. Oleh karena itu, penting agar semakin banyak individu menerima vaksin untuk menciptakan kekebalan kelompok ini.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Apr 2021, 16:01 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2021, 16:01 WIB
Vaksinasi Tenaga Pendidik dan Lansia di Mall
Warga mengukur tekanan darah sebelum vaksin Covid-19 di Lippo Mall Kemang, Jakarta, Senin (12/04/2021). Sebanyak 5482 tenaga pendidik divaksinasi berjasama dengan Dinkes DKI Jakarta dan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) dan Lippo Malls Indonesia dan Siloam Hospitals. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Dengan cakupan 70 persen dari populasi yang menerima vaksinasi COVID-19, maka orang-orang yang belum divaksin akan terlindungi. Oleh karena itu, penting agar semakin banyak individu menerima vaksin untuk menciptakan kekebalan kelompok ini. Hal tersebut disampaikan ahli mikrobiologi Prof Dr Amin Soebandrio dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kekebalan kelompok atau kekebalan populasi ini pada gilirannya akan melindungi orang-orang yang belum bisa divaksinasi karena berbagai sebab, mungkin karena usia, kondisi komorbidnya, ibu hamil, dan sebagainya,” kata Amin Soebandrio dalam kuliah umum Swiss German University pada Rabu (14/4/2021).

Menurut Amin, jika seseorang belum pernah terpapar dengan virus atau vaksinnya, maka orang tersebut belum memiliki antibodi apapun. Setelah mendapatkan paparan pertama atau initial exposure, barulah tubuh membentuk respon imun yang disebut dengan primary immune response.

“Tapi karena ini pertemuan pertama dengan patogen atau vaksinnya, maka responnya sangat lambat, kadarnya sangat rendah dan kualitasnya juga kurang baik, dan banyak didominasi oleh imunoglobulin M,” jelasnya.

Oleh karena itu, diperlukan secondary exposure untuk membentuk secondary immune response yang membuat antibodi lebih kuat. Hal ini karena tubuh memiliki memori dengan patogen atau vaksinnya dan memberikan respons yang lebih baik.

“Respons tubuh akan terjadi dengan jauh lebih cepat, dengan konsentrasi lebih tinggi, kualitasnya lebih bagus, dan didominasi oleh imunoglobulin J,” ungkap Amin yang juga merupakan Tim Konsorsium Vaksin Nasional.

Simak Juga Video Berikut

Dari Virus Hewan Jadi Virus Manusia

Pasar Ekstrem di Tomohon, Dicaci Tapi Dicari
Paniki di pasar ekstrem Tomohon. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Menurut Amin, virus corona pada dasarnya merupakan virus hewan. Namun, kini ada tujuh virus corona yang bisa menyerang manusia, termasuk SARS-Cov 2. 

“Yang membuat penting saat ini adalah si SARS-Cov 2 ini sudah menjadi virus manusia,” katanya.

“Jadi tidak lagi menjadi virus hewan, tetapi sekarang sudah menjadi virus manusia dan sudah bisa ditularkan dari manusia ke manusia dengan cara yang sederhana hanya melalui droplet, tidak perlu melalui darah, tidak perlu melalui hubungan seksual,” lanjut Amin.

Penularan virus ini juga dikhawatirkan bisa terjadi secara vertical transmission atau dari ibu hamil ke janinnya.

Amin menyebut hal ini terjadi lantaran perilaku manusia yang semakin banyak memelihara hewan liar, mengonsumsi hewan liar, dan perilaku manusia yang mendekati kehidupan hewan liar dengan mengeksplorasi habitatnya.

“Jadi sebetulnya yang mendekati adalah manusia. Manusia yang mendekati hewan liar.” 

 

Penulis: Abel Pramudya Nugrahadi

Infografis 17 Kondisi Orang Tak Bisa Disuntik Vaksin Covid-19 Sinovac

Infografis 17 Kondisi Orang Tak Bisa Disuntik Vaksin Covid-19 Sinovac. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 17 Kondisi Orang Tak Bisa Disuntik Vaksin Covid-19 Sinovac. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya