Menteri PPPA Apresiasi Wadah Penegakan Hukum Berbasis Gender di Surabaya

Penegakan hukum dan penanganan kasus berbasis gender penting untuk dilakukan demi mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban, utamanya perempuan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 03 Mei 2021, 21:01 WIB
Diterbitkan 03 Mei 2021, 21:01 WIB
Menteri PPPA Bintang Puspayoga
Menteri PPPA Bintang Puspayoga. Foto: KemenPPPA.

Liputan6.com, Jakarta - Penegakan hukum dan penanganan kasus berbasis gender penting untuk dilakukan demi mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban, utamanya perempuan.

Hal ini disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga. Menurutnya, wadah penanganan kasus berbasis gender sangat diperlukan dewasa ini.

Maka dari itu, ia mengapresiasi peluncuran Center of Women Empowerment in Law Enforcement Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur yang merupakan wadah bagi perempuan dan bergerak di bidang penegakan hukum untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman terkait perlindungan perempuan dan anak.

Bintang berharap wadah ini dapat memberikan advokasi, sosialisasi, dan pemahaman yang masif bagi masyarakat terkait pentingnya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang berbasis gender.

“Segala bentuk upaya untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan tidak boleh ditunda lagi. Apalagi, mayoritas kasus kekerasan terhadap perempuan berada pada ranah domestik,” ujar Bintang dalam keterangan pers KemenPPPA, ditulis Senin (3/5/2021).

Ia berharap, semoga wadah ini dapat membantu para penegak hukum perempuan untuk meningkatkan kesadaran, kepekaan, dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang mengedepankan kepentingan terbaik korban.

Simak Video Berikut Ini

Kasus Kekerasan pada Perempuan Sepanjang 2020

Bintang juga menyampaikan, berdasarkan catatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sepanjang 2020 terdapat 7.464 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa. 60,75 persen di antaranya merupakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Pada kenyataannya, lanjut Bintang korban kekerasan membutuhkan berbagai layanan spesifik dan berperspektif gender. Penyedia layanan tidak boleh menyudutkan atau menyalahkan korban terhadap kekerasan yang menimpanya.

Mereka juga harus diberikan pemahaman bahwa seringkali korban merasa tidak berdaya secara psikis, sehingga tidak memiliki kekuatan atau keberanian untuk melawan atau kabur dari peristiwa itu.

Ketua Center of Women Empowerment in Law Enforcement Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Juansih mengatakan wadah ini merupakan bentuk kolaborasi antara Polwan RI dengan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman, edukasi, sosialisasi, serta pendampingan yang difokuskan bagi perlindungan perempuan dan anak.

“Wadah ini terutama agar bermanfaat bagi perempuan yang bergerak di bidang penegakan hukum,” katanya.

 

Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021

Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya