BKKBN: Sambut Bonus Demografi, Jangan Sampai Kualitas SDM Rendah karena Stunting

Kepala BKKBN mengatakan bahwa jangan sampai harapan hidup manusia di Indonesia naik, namun kualitasnya semakin rendah

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 05 Mei 2021, 13:00 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2021, 13:00 WIB
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo berkomitmen tingkatkan akses dan kualitas Pelayanan dan Penggerakan Program Bangga Kencana selama COVID-19 di Kantor Pusat BKKBN, Jakarta, Rabu (27/1/2021). (Dok Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN)

Liputan6.com, Jakarta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan bahwa masalah stunting dapat mengancam kesuksesan dari bonus demografi di Indonesia.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyebut, Presiden Joko Widodo sangat memperhatikan stunting karena dalam memasuki era bonus demografi, Indonesia sangat tergantung dan berharap pada kualitas sumber daya manusia.

"Dimana dependency ratio antara yang bekerja dan produktif dibandingkan dengan yang tidak bekerja seperti balita atau orang tua, itu mencapai titik yang sangat menarik sekali," kata Hasto di kantor BKKBN, Jakarta pada Selasa (4/5/2021).

Hasto mengatakan, menurut perhitungan sensus penduduk, di era bonus demografi setiap 100 penduduk yang produktif cukup untuk menanggung 41 orang yang tidak bekerja.

Mantan Bupati Kulon Progo itu mengatakan, umumnya negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, mengalami kemajuan pesat dalam pendapatan per kapitanya pada saat dependency ratio-nya berada di angka yang baik.

"Karena saat itulah negara itu punya kesempatan untuk meningkatkan pendapatan per kapita penduduknya," kata Hasto di Program Kolaborasi BKKBN, Prenagen, dan Klikdokter bertajuk "Smart Sharing: Program Kerja Sama Penurunan Angka Stunting di Indonesia.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini


Jangan Sampai Kualitas Manusianya Rendah

Melihat Kondisi Anak-Anak Kurang gizi di Pandeglang
Anak balita menangis saat ditimbang di Puskesmas, Kaduhejo, Pandeglang (14/9). Dengan puluhan penduduk mengalami gizi kurang, gizi buruk dan beberapa anak sudah divonis stunting, ini menjadi gambaran bagaimana sulitnya mencegah stunting. (Foto:Istimewa)

Hasto melanjutkan, kesempatan seperti itu hanya sekali dan jika terlewatkan maka tidak akan bisa dikembalikan. "Bisa dua kali tapi kalau hebat sekali, kalau orang tuanya, lansianya semua produktif, tapi itu kan cuma segelintir."

"Itulah mengapa bangsa kita jangan sampai usia harapannya hidupnya naik tetapi kualitasnya rendah karena stunting," Hasto menegaskan. "Istilahnya (jangan) growing old before growing rich, sudah menua tapi belum kaya."

BKKBN melaporkan bahwa dalam lima tahun terakhir, angka stunting di Indonesia sesungguhnya telah mengalami perbaikan.

Menurut Zamhir Setiawan, Direktur Bina Akses Pelayanan Keluarga Berencana BKKBN, jumlah stunting di Indonesia tahun 2019 adalah 27,67 persen. Angka ini berhasil ditekan dari 37,8 persen pada 2013.

"Namun angka ini masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization yaitu kurang dari 20 persen," ujarnya.

"Bahkan hingga akhir tahun lalu, status Indonesia masih berada di urutan empat dunia dan urutan kedua di Asia Tenggara terkait kasus balita stunting," Zamhir menambahkan.

Presiden Jokowi sendiri pada Januari lalu menargetkan bahwa di 2024, kasus stunting dapat ditekan hingga berada di angka 14 persen, dan angka kematian ibu bisa ditekan hingga di bawah 183 per 100 ribu ibu melahirkan.


Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi

Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi
Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya