Liputan6.com, Jakarta Sejumlah faktor sangat mempengaruhi proses persalinan seorang ibu, apakah pervaginam (spontan) dan caesar. Keduanya merupakan proses persalinan normal.
Hampir semua ibu menginginkan proses persalinan pervaginam namun dalam beberapa kasus, operasi caesar mungkin dianjurkan. Misalnya dalam kasus bayi kembar dan kelipatan lainnya; atau kondisi medis seperti diabetes atau tekanan darah tinggi; atau mencegah infeksi yang dapat ditularkan ke bayi selama persalinan, seperti COVID-19, HIV atau herpes kelamin; atau karena terdapat masalah pada plasenta.
Baca Juga
Operasi caesar mungkin juga diperlukan jika bayi sangat besar dan ibu memiliki panggul kecil, atau jika posisi kepala bayi tidak menunduk dan upaya untuk mengubah bayi ke posisi ini sebelum lahir tidak berhasil.
Advertisement
Terkadang seorang dokter kandungan juga memutuskan untuk melakukan operasi caesar demi keselamatan ibu, bayinya, atau keduanya yang sedang dalam bahaya. Seperti jika persalinan terjadi terlalu lambat atau jika bayi tidak mendapatkan cukup oksigen.
Tak sedikit pula yang memilih operasi caesar karena tanggal yang unik.Â
Padahal, jika seseorang memenuhi syarat untuk persalinan pervaginam, ini lebih banyak keuntungannya daripada persalinan dengan operasi caesar, pakar di bidang kedokteran ibu-anak di Massachusetts General Hospital di Boston, Dr. Allison Bryant, dikutip dari Livescience.
Â
Simak Video Berikut Ini:
Risiko persalinan caesar
Operasi caesar umumnya dianggap aman dan dalam situasi tertentu bisa menyelamatkan nyawa tapi tetap ada risiko dibaliknya.Â
Risiko pertama yaitu dari prosedurnya yang merupakan operasi besar dan melibatkan pembedahan perut untuk mengeluarkan bayi dari rahim. Lalu seringkali operasi caesar anak pertama mengarah pada operasi caesar pada kehamilan berikutnya walau saat ini sudah bisa vaginal birth after caesarean (VBAC).Â
Selain itu cara ini biasanya membutuhkan rawat inap yang lebih lama dan masa pemulihannya juga lebih lama dan lebih banyak rasa sakit dan ketidaknyamanan di perut pasca operasi. Itu karena kulit dan saraf di sekitar bekas luka operasi membutuhkan waktu untuk sembuh, paling tidak dua bulan.
Selain itu, operasi caesar meningkatkan risiko kehilangan darah karena usus atau kandung kemih dapat terluka selama operasi atau bekuan darah dapat terbentuk. Karena pemuliahn yang lama ini maka suit untuk bayi bisa segera menyusu.
Menurut studi tahun 2006 yang diterbitkan dalam jurnal Obstetrics & Gynecology, wanita tiga kali lebih mungkin meninggal selama persalinan caesar daripada selama persalinan pervaginam, sebagian besar karena pembekuan darah, infeksi dan komplikasi dari anestesi.
Menurut sebuah studi tahun 2019 yang diterbitkan dalam jurnal Allergy, Asthma & Clinical Immunology, bayi yang lahir dengan operasi caesar mungkin lebih cenderung memiliki masalah pernapasan saat lahir dan bahkan selama masa kanak-kanak, seperti asma. Selama operasi caesar, ada risiko kecil bahwa bayi bisa terluka oleh pisau bedah selama operasi dan terluka, kata Bryant.
Sementara berdasarkan hasil beberapa penelitian ditambah investigasi tahun 2002 terhadap lebih dari 33.000 wanita, menunjukkan hubungan antara bayi yang dilahirkan melalui operasi caesar dan risiko yang lebih besar menjadi obesitas dan mengembangkan diabetes tipe 2 saat anak-anak dan saat dewasa, meskipun untuk hal ini masih belum diulas dengan lebih jelas alasannya.
Maka dari itu jika Anda memenuhi syarat lebih disarankan persalinan pervaginam.Â
Selain karena persalinan pervaginam biasanya membutuhkan waktu pemulihan yang lebih singkat dibandingkan dengan operasi caesar, sehingga bayi bisa mulai menyusu lebih cepat, cara ini juga dipilih karena mampu menghindari risiko yang terkait dengan operasi besar. Misalnya perdarahan hebat, jaringan parut, infeksi, reaksi terhadap anestesi, dan nyeri yang berlangsung lama.
Bayi yang dilahirkan pervaginam juga dapat melakukan kontak dengan ibunya lebih awal. Bryant menambahkan bahwa otot yang terlibat dalam persalinan pervaginam cenderung memeras cairan di paru-paru bayi yang baru lahir, dan ini bermanfaat karena mengurangi risiko bayi mengalami masalah pernapasan saat lahir.
Ada juga risiko yang dihadapi persalinan pervaginam, salah satunya karena membutuhkan proses panjang yang bisa melelahkan secara fisik. Cara ini juga memiliki risiko kulit dan jaringan di sekitar vagina meregang dan robek saat janin bergerak melalui jalan lahir. Peregangan dan robekan yang parah mungkin memerlukan jahitan. Peregangan dan robekan ini juga dapat menyebabkan kelemahan atau cedera pada otot panggul yang mengontrol fungsi urine dan usus.
Persalinan pervaginam juga dapat menyebabkan nyeri yang menetap di perineum, area antara vagina dan anus. Jika persalinannya berlangsung terlalu lama atau jika bayinya besar, terdapat risiko luka pada bayi, seperti kulit kepala memar, dan sebagainya.
Kelahiran pervaginam pada orang yang sebelumnya pernah menjalani operasi caesar, baik atas pilihan sendiri atau karena keadaan darurat, memiliki kontraindikasi berdasarkan lokasi sayatan Caesar dan risiko ruptur uteri (menurut Royal College of Obstetricians and Gynecologists, ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus dan ini bisa membuka luka lama).
Jenis kelahiran tersebut dikenal sebagai Vaginal Birth After Cesarean (VBAC). Sayangnya belum semua rumah sakit dilengkapi peralatan untuk menangani komplikasi VBAC dan beberapa dokter menolak mengawasinya, kata Dr. Patricia Santiago-Munoz, spesialis kehamilan berisiko tinggi di Departemen Obstetri dan Ginekologi di University of Texas Southwestern Medical Center di Dallas.
Terlepas dari pilihan metode persalinan, pasien harus diberi informasi sebanyak mungkin tentang pilihan persalinan mereka sejak masa kehamilan sehingga mereka dapat membuat pilihan yang paling tepat.
Advertisement