Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen tinggi untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu eliminasi TBC pada 2030.
TBC atau Tuberkulosis merupakan satu dari 10 penyebab kematian tertinggi di dunia. WHO pada 2020 melaporkan bahwa Indonesia bertengger di posisi nomor 2 sebagai negara dengan jumlah kasus TBC tertinggi di dunia.
Baca Juga
Jumlahnya mencapai 845.000 kasus dengan 96.000 kematian akibat TBC per tahun.
Advertisement
Tantangan utama dalam mencapai upaya ini salah satunya adalah penemuan kasus TBC yang masih belum optimal. WHO merekomendasikan perlunya penemuan kasus aktif berbasis komunitas pada populasi dengan angka insidensi TBC minimal satu persen, misalnya ODHA, lembaga permasyarakatan, pekerja di perusahaan, serta pekerja migran.
Yang termasuk dalam kategori Pekerja Migran Indonesia (PMI) adalah warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia. Indonesia pada 2020 memiliki lima provinsi dengan penempatan PMI tertinggi, yaitu:
- Jawa Barat (Kab. Indramayu, 10.060 orang)
- Jawa Timur (Kab. Malang, 5.600 orang)
- Jawa Tengah (Kab. Cilacap, 5.174 orang)
- Lampung (Kab. Lampung Timur, 3.731 orang)
- Nusa Tenggara Barat (Kab. Lombok Timur, 3.019 orang).
Berdasarkan data BPS, proporsi PMI di Kab. Indramayu mencapai 1,2 persen dari total seluruh angkatan pekerja yang bekerja. Di tahun yang sama, total PMI yang ditempatkan berjumlah 113.173 orang, terdiri dari 36.784 orang PMI formal dan 76.389 orang PMI informal.
Melihat Persoalan Tuberkulosis Pada Pekerja Migran Indonesia
PMI memiliki masalah kesehatan yang berbeda dibandingkan pekerja pada populasi umum, termasuk risiko terkena TBC. Terdapat tiga faktor risiko yang menyebabkan PMI lebih rentan terkena TBC, yaitu faktor individu di mana banyak PMI yang ditempatkan tinggal di pemukiman padat penduduk yang melebihi kapasitas, rendahnya status sosial dan ekonomi, serta kondisi kekurangan gizi atau malanutrisi di daerah asal; faktor hambatan sosial terkait bahasa, budaya, HAM, status imigrasi, layanan kesehatan yang tidak ramah terhadap PMI, dan stigma; faktor beban ekonomi dari penyakit: kondisi keuangan PMI yang kurang memadai dan apabila PMI sakit, maka akan menurunkan produktivitas dan berisiko kehilangan pekerjaan.
”Penanganan perlindungan bagi pekerja migran perlu dimulai dari tahap persiapan berangkat, saat berada di lokasi kerja, saat karantina hingga ketika kembali lagi ke tanah air karena berkaitan dengan risiko penyakit menular, salah satunya tuberkulosis. Sehingga upaya ini tidak hanya bisa diselesaikan oleh sektor kesehatan namun juga sektor lain seperti sektor ketenagakerjaan karena berkaitan dengan pekerja migran,” ujar Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Riskiyana, seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Selasa, 10 Agustus 2021.
Dalam konteks Indonesia, masih terdapat banyak tantangan dalam penemuan kasus TBC pada PMI d iantaranya belum terstandarnya pelayanan promotif dan preventif terkait TBC, tidak semua pasien TBC di populasi PMI yang mengakses layanan pengobatan terstandar, mekanisme pancatatan pelaporan kasus TBC pada PMI yang terintegrasi dengan program TBC nasional.
Berdasarkan beberapa hal ini, penting untuk dilakukan upaya penanggulangan TBC pada PMI yang komprehensif dan terintegrasi dengan program TBC nasional.
Advertisement
Pelibatan Pemangku Kepentingan
Pelibatan pemangku kepentingan lintas program dan sektor serta diperlukannya sebagai acuan penyelenggaraan program penanggulangan TBC dalam setiap tahapan yang dilalui PMI, baik sejak di dalam negeri, di negara tujuan, dan sampai kembali ke tempat asal di Indonesia. Bagaimana Upaya Penanggulangan TBC Pada PMI
Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jumlah PMI bermasalah yang meninggal pada 2018 sebanyak 155 jiwa, dan yang sakit 176 orang.
Meski PMI telah berkontribusi dalam pemasukan devisa negara, tapi perlindungan kesehatan pada PMI masih belum berjalan optimal sehingga terdapat cukup banyak kasus pemulangan PMI yang memiliki masalah kesehatan, di mana TBC merupakan salah satunya.
WHO telah memberikan rekomendasi untuk program penanggulangan TBC pada populasi migran yang terdiri dari empat pilar yang mencakup sistem surveilans TBC yang inklusif terhadap populasi pekerja migran, adanya kebijakan multisektor dan memastikan tersedianya layanan kesehatan bagi para migran, adanya sistem kesehatan yang sensitif dan terintegrasi untuk melakukan segala upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif terkait TBC sesuai dengan kebutuhan pekerja, serta memperkuat kemitraan, jejaring, untuk meningkatkan koordinasi dan harmonisasi kebijakan kesehatan bagi para migran pada setiap tahapan yang dilalui pekerja migran.
Melihat pentingnya penanggulangan TBC bagi pekerja migran Indonesia, Yayasan KNCV Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan merumuskan model penanggulangan TBC yang efektif pada kelompok pekerja migran Indonesia dengan melakukan analisa situasi menyeluruh terkait situasi dan kondisi di lapangan.