Liputan6.com, Jakarta - COVID-19 tidak hanya menghantui orang dewasa, anak-anak pun rentan terinfeksi virus Corona SARS-CoV-2 dan turut menyebarkannya. Bahkan, kasus COVID-19 pada anak Indonesia mengalami kenaikan pada Agustus 2021.
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menyebut, kasus konfirmasi positif COVID-19 pada anak naik sebesar 2 persen. Kasus COVID-19 pada anak masih 13 persen di Juli 2021, kini menjadi 15 persen.
"Persentase kasus konfirmasi pada anak dibandingkan dewasa naik 2 persen," kata Dante dalam Rakornas KPAI 'Persiapan PTM dan Program Vaksinasi Anak Usia 12-17 Tahun Berbasis Sentra Sekolah', Senin (30/8/2021).
Advertisement
Dante mengatakan, peningkatan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 pada anak membuat Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah sangat berisiko. Sementara diketahui beberapa daerah dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1 hingga 3 sudah diperkenankan melaksanakan PTM Terbatas mulai Senin, 30 Agustus 2021.
Anak-anak yang beraktivitas tatap muka tak hanya berisiko terinfeksi COVID-19 melainkan juga berpotensi menjadi sumber penularan virus Corona bagi lingkungan keluarga.
"Anak-anak ini menyumbang sumber primer dan kasus klaster yang ada di keluarga. Ini penting nanti ketika melakukan pembukaan pembelajaran tatap muka di sekolah," ujar Dante.
Baca Juga
Dante mengatakan, sejumlah negara di dunia sudah menunjukkan sekolah tatap muka bisa menjadi klaster baru COVID-19. Bahkan, sejumlah sekolah di Indonesia yang menggelar PTM mengidentifikasi klaster COVID-19.
Dante mengambil contoh beberapa sekolah menengah di Sumatera Barat yang melaksanakan tatap muka pada Maret dan April 2021. Aktivitas belajar tatap muka tersebut memicu penyebaran virus Corona pada peserta didik.
"Proses pembelajaran itu bisa mempunyai risiko jumlah kasus positif akan bisa meningkat dan menjadi klaster baru," katanya.
Kewaspadaan infeksi COVID-19 pada anak juga telah diserukan oleh Ikatan Dokter Indonesia sejak beberapa bulan terakhir. Dalam rapat kerja bersama Komisi IX pada awal Juli 2021, IDAI menyampaikan bahwa sekolah tatap muka tetap memiliki risiko penularan COVID-19.
"Walaupun 2 jam, anak itu menjadi berkumpul," kata Ketua IDAI Aman B. Pulungan.
Maka dari itu, dalam rekomendasinya April lalu, IDAI mensyaratkan agar sekolah tatap muka hanya bisa dilakukan saat positivity rate di bawah 5 persen, serta tingkat kematian juga harus sudah menurun.
Meski belajar secara tatap muka meningkatkan risiko penularan COVID-19, aktivitas tersebut juga dipertimbangkan guna menekan risiko learning loss dan menjaga kualitas pembelajaran anak Indonesia.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika RI Johnny G. Plate, risiko learning loss terjadi karena peserta didik tidak memeroleh pembelajaran yang optimal. Hal ini berdampak pada kemunduran akademis dan non akademis.
"Risiko learning loss anak-anak menguat selama pandemi, karena kegiatan belajar mengajar yang terpaksa dilakukan secara jarak jauh untuk menekan penyebaran COVID-19," ujar Plate.
Learning loss terjadi saat situasi peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan baik umum atau khusus atau kemunduran secara akademis. Dalam situasi pandemi, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berisiko terhadap kejadian learning loss.
Angka Kematian Anak Juga Tinggi
Selain mengalami peningkatan jumlah kasus, angka kematian anak akibat COVID-19 di Indonesia juga tinggi. Hal tersebut pun disampaikan Dante dalam kesempatan yang sama.
Mengutip data Bersatu Lawan COVID-19, persentase kematian COVID-19 anak dalam dua bulan terakhir masih belum menunjukkan penurunan. Sejak Juni 2021, persentase kematian anak di angka 1 persen, lalu Juli-Agustus di angka 2 persen.
"Bahkan kematian akibat Corona pada anak semakin meningkat pada beberapa daerah. Ini disebabkan karena keterlambatan orang tua membawa anak ke tempat pengobatan yang baik," ungkap Dante.
Tingginya angka kematian anak akibat COVID-19 di Indonesia pun disorot media asing. Sky News mengutip data UNICEF menunjukkan bahwa kasus kematian anak karena virus Corona di Indonesia tiga kali lebih tinggi dibandingkan angka global.
Total kematian anak akibat infeksi virus Corona di Indonesia mencapai 1 persen kematian nasional, sedangkan rata-rata global 0,3 persen menurut data UNICEF. Menurut dokter anak yang menjadi sumber Sky News, kenaikan kasus dan kematian anak ini tampak sejak Juli 2021 ketika varian Delta menyebar.
Sering Dianggap Flu Biasa
Dante mengatakan, kasus gejala COVID-19 pada anak sering dianggap sebagai flu biasa oleh orangtua. Hal ini membuat penanganan pada anak yang terpapar COVID-19 sering terlambat.
"Tadinya, disangka hanya flu biasa. Kemudian anaknya mungkin anosmia atau kehilangan indra penciuman. Biasanya ini tidak terlalu banyak dikeluhkan oleh anak," ungkap Dante.
Gejala yang sering terlihat pada anak, kata Dante, mereka susah makan. Ketika anak susah makan, mulai muncul gejala mirip flu. "Ya, mereka diobati sebagai sakit flu, tetapi kondisinya semakin parah, baru orang tuanya sadar," lanjutnya.
Jika melihat pada Case Fatality Rate (CFR) per 26 Agustus 2021, kematian COVID-19 anak mengalami sedikit peningkatan. CFR adalah jumlah orang yang meninggal dunia dari total orang yang sakit atau mempunyai gejala suatu penyakit.
"Kalau CFR dewasa memang meningkatnya pada masa pandemi cukup tajam sampai 6,45 persen (Agustus 2021), sedangkan pada anak-anak 1 persen (0,68 persen)," lanjut Dante Saksono Harbuwono.
"Saat lonjakan pada Juli 2021 terjadi, CFR dewasa 3,27 persen dan anak-anak 0,33 persen."
Oleh karena itu, Dante menekankan, gejala-gejala COVID-19 pada anak-anak juga penting diketahui orangtua. Sehingga tren kasus konfirmasi dan kematian COVID-19 pada anak tidak terjadi.
"Peran orangtua sangat penting sekali untuk menekan kasus kematian COVID-19 pada anak. Tidak menunggu anak sampai kelihatan sesak dahulu, baru dibawa ke rumah sakit," ucapnya.
"Tetapi dari awal sudah diperiksakan ketika anaknya demam, susah makan, langsung diperiksakan ke dokter, dibawa ke instalasi kesehatan setempat."
Advertisement
Rekomendasi Pakar Terkait PTM
Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan RI dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid menyampaikan bahwa penanganan atas kenaikan kasus anak ini perlu dilakukan. Mulai dari peningkatan protokol kesehatan (prokes) anak hingga lindungi anak dari kerumunan publik.
“Tentunya prokes pada anak harus ditingkatkan, anak-anak jangan dibiarkan terpapar dengan risiko penularan di tempat publik,” ujar Nadia kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Selasa (31/8/2021).
Di sisi lain, orangtua memiliki peran penting dalam melindungi dan menghindarkan anak dari paparan virus Corona. Nadia mengimbau para orangtua untuk tidak mengajak anak ke tempat-tempat ramai seperti pusat perbelanjaan.
“Jangan mengajak (anak) ke mal atau pusat perbelanjaan atau tempat publik dan jangan berkunjung ke keluarga,” katanya.
Sementara itu, terkait pelaksanaan PTM, Dante mengatakan, klaster baru COVID-19 bisa dicegah di sekolah yang menggelar PTM dengan melakukan skrining secara rutin pada pelajar yang terlibat PTM.
"Kalau klaster ini ditangani dengan baik, maka tidak terlalu berdampak. Karena itu, salah satu faktor penting adalah bukan soal pada saat kita melakukan evaluasi awal ketika kita melakukan pembelajaran pada anak, tapi evaluasi secara skrining berkala diperlukan pula untuk mengidentifikasi apabila terjadi klaster-klaster baru di sekolah tersebut."
Dalam kesempatan berbeda, IDAI merekomendasikan orangtua untuk mempertimbangkan sejumlah hal terkait pelaksanaan PTM. Hal ini agar siswa tetap terlindungi dari penularan virus Corona.
Pertimbangan tersebut termaktub sebagaimana isi Pandangan Ikatan Dokter Anak Indonesia terkait Pembukaan Sekolah, yang diteken Ketua Umum IDAI Aman B. Pulungan dan Sekretaris Umum IDAI Hikari Ambara Sjakti tertanggal 27 Agustus 2021.
a. Anak usia lebih dari 12 tahun yang sudah mendapatkan vaksin COVID-19
b. Anak tidak ada komorbiditas (termasuk obesitas), jika terdapat komorbiditas harap mengkonsultasikan kepada dokter terlebih dahulu
c. Anak sudah dapat memahami protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, mengetahui apa yang boleh dilakukan untuk mencegah transmisi COVID-19 dan hal yang tidak boleh dilakukan karena berisiko tertular/menularkan COVID-19
d. Guru dan petugas di sekolah telah mendapatkan vaksinasi COVID-19
e. Anggota keluarga di rumah sudah mendapatkan vaksinasi COVID-19
IDAI juga menyarankan pelacakan (tracing) jika ditemukan kasus COVID-19 pada sekolah tatap muka. Tracing dapat dilakukan oleh sekolah yang bersangkutan bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat.
Terkait PTM, Mantan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH. menyampaikan bahwa pembelajaran tatap muka (PTM) relatif aman dilakukan jika semua pelajar telah divaksinasi lengkap.
“Kalau pelajar semua sudah divaksinasi lengkap dua kali, paling tidak untuk 6 bulan ke depan relatif lebih aman tetapi tidak 100 persen,” ujar Hasbullah kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara.
Ia mengingatkan, para pelajar yang sudah mendapatkan vaksinasi COVID-19 adalah yang berumur 12 tahun ke atas atau pelajar sekolah menengah pertama (SMP) dan seterusnya.
“Harus diperhatikan, jangan lupa pelajar yang divaksinasi itu kan 12 tahun ke atas artinya pelajar SMP ke atas dan tetap saja vaksinasi tidak akan mencegah penularan tapi hanya mencegah penyakit menjadi berat.”
Jika ingin tetap membuka pembelajaran tatap muka, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan menurut Hasbullah. Hal-hal tersebut yakni semua peserta PTM harus divaksinasi 2 kali dan disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Mengingat anak-anak SD belum bisa mendapatkan vaksinasi dan tingkat disiplinnya masih rendah, maka mereka tidak dianjurkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka.
“Saya tidak menganjurkan pelajar pada level SD kelas 1 sampai kelas 6 untuk kembali tatap muka karena saya meragukan disiplin mereka. Tapi kalau sudah kelas 7 ke atas InshaAllah sudah lebih bisa diajak bicara untuk disiplin.”
Penangan Jika Anak Terkonfirmasi COVID-19
Bila segala langkah protokol kesehatan sudah dilakukan tapi tetap tertular COVID-19, Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Yogi Prawira mengatakan untuk tidak denial.
"Kondisi itu diterima," katanya.
Setelah itu, orangtua mesti segera melakukan beberapa hal yakni:
1. Konsultasikan ke dokter, bisa menggunakan layanan telekonsultasi
2. Pada anak dengan komorbid periksakan dia ke fasilitas kesehatan karena lebih berisiko menjadi berat.
"Panduan ini bersifat umum, sesuaikan dengan keunikan masing-masing keluarga," kata Yogi.
Pemantauan pada Anak dengan COVID-19
Bila anak menjalani isolasi di rumah, pengasuh maupun orangtua wajib melakukan pemantauan. Meski ringan tapi bisa jadi sedang, berat, bahkan kritis dalam webinar Perlindungan Anak dari COVID-19.
Berikut hal yang perlu dilakukan pengasuh saat memantau anak dengan COVID-19 seperti disampaikan Yogi:
1. Periksa suhu tubuh menggunakan termometer
"Suhu normal di kisaran 36,5 sampai 37,5 derajat Celsius."
2. Hitung laju napas selama satu menit
Segera bawa ke fasilitas kesehatan yang menangani COVID-19 bila menemui tanda bahaya berikut:
- Bayi usia kurang dua bulan napasnya cepat sekali lebih dari 60 kali per menit
- 2-11 bulan napas 50 kali per menit
- 1-5 tahun napas 40 kali per enit
- lebih dari 5 tahun napas lebih dari 30 kali per menit
3. Saturasi oksigen normalnya adalah di atas 95 persen
4. Jaga asupan makanan
5. Cek aktivtias anak
6. Cek tanda dehidrasi dan gejala lain
Advertisement