Liputan6.com, Jakarta Para peneliti di University of Washington dan pembuat obat Swiss, Humabs Biomed SA menganalisis kemanjuran enam vaksin terhadap varian COVID-19 omicron.
Hasilnya, vaksin COVID-19 yang dibuat oleh Sinopharm, Johnson & Johnson, serta Sputnik yang dikembangkan oleh Rusia menghasilkan sedikit atau bahkan tidak memiliki antibodi terhadap omicron.
"Hanya 3 dari 13 orang yang menggunakan kedua dosis suntikan Sinopharm menunjukkan antibodi penetral terhadap omicron. Bahkan yang menerima suntikan J&J hanya satu dari 12 sampel. Selain itu, tak satu pun dari 11 orang yang divaksinasi penuh dengan Sputnik menghasilkan antibodi untuk melawan Omicron," tulis penelitian tersebut, seperti dikutip Bloomberg, Sabtu (18/12/2021).
Advertisement
Baca Juga
Peneliti juga melaporkan, penurunan antibodi pada dua dosis suntikan mRNA Pfizer Inc. "Tingkat antibodi dalam kelompok orang ini turun lima kali lipat, dibandingkan dengan 44 kali lipat bagi mereka yang mengambil kedua suntikan Pfizer tetapi tidak memiliki riwayat infeksi COVID-19."
Kendati demikian, penelitian ini baru diterbitkan secara pra-cetak dan belum ditinjau oleh rekan sejawat.
Â
Â
Simak Video Berikut Ini:
Dinilai tidak akurat
Sementara itu, Russia’s Gamaleya Center, yang mengembangkan Sputnik, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa sampel serum yang digunakan dalam penelitian ini tidak representatif dan kesimpulan tentang kemanjuran vaksin terhadap omicron tidak akurat.
Sebelumnya, partner Gamaleya, Russian Direct Investment Fund, mengungkapkan bahwa Sputnik diharapkan dapat memberikan pertahanan yang kuat terhadap kasus varian yang parah berdasarkan sebuah studi pendahuluan.
Namun karena bermunculan penelitian yang mengungkapkan bahwa vaksin yang paling banyak digunakan hanya memberikan perlindungan parsial terhadap omicron, membuat pemerintah waspada sampai memberlakukan kembali pembatasan perjalanan dan mempercepat suntikan booster.
Cara ini dianggap sebagai upaya untuk mencegah gelombang virus lebih lanjut dan lockdown. Sebab varian baru omicron dinilai bisa menginfeksi 70 kali lebih cepat daripada delta yang mematikan, dan menyebar dengan cepat ke sekitar 77 negara dalam waktu kurang dari satu bulan sejak pertama kali terdeteksi di Afrika bagian Selatan.
Adapun studi yang baru saja rilis awal pekan ini menunjukkan bahwa vaksin Sinovac Biotech Ltd., salah satu yang paling banyak digunakan di dunia bersama dengan vaksin Pfizer-BioNTech, juga tidak memberikan antibodi yang cukup setelah dua dosis melawan omicron. Sehingga peneliti menyarankan perlunya suntikan booster untuk meningkatkan perlindungan.
Studi terbaru juga mengemukakan kalau orang yang divaksinasi dengan dua dosis suntikan Pfizer-BioNTech dan Moderna Inc. bahkan menghasilkan lebih sedikit antibodi. Begitu pula mereka yang memiliki vaksin vektor virus yang dikembangkan oleh University of Oxford dan AstraZeneca Plc, perlindungannya telah hilang secara nyata. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang lainnya.
Berdasarkan temuan-temuan ini, membuat para ilmuwan dan otoritas kesehatan masyarakat berebut mencari cara untuk meningkatkan perlindungan terhadap varian baru, termasuk memajukan dosis ketiga menjadi hanya tiga bulan setelah yang kedua, mencampur dan mencocokkan vaksin yang berbeda dan mengembangkan generasi baru suntikan bertarget omicron.
Sementara itu, penelitian yang ada menyelidiki tingkat antibodi berdasarkan satu respon imun yang melindungi orang dari infeksi. Adapun respon imun lain, imunitas yang dimediasi sel (dikenal sebagai respon sel-T), yang dapat melindungi orang dari penyakit serus dan kematian, masih diteliti, bagaimana sel-T merespons omicron.
Advertisement