Liputan6.com, Jakarta Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Suharyanto pada 1 Januari 2022 memutuskan bahwa karantina berlangsung selama 10-14 hari. Namun selang 3 hari, keputusan ini berubah menjadi 7-10 hari.
Hal ini tercantum dalam Surat Keputusan Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pintu Masuk (Entry Point), Tempat Karantina dan Kewajiban RT-PCR Bagi Warga Negara Indonesia Pelaku Perjalanan Luar Negeri yang berlaku mulai 4 Januari 2022.
Baca Juga
Perubahan keputusan dalam waktu relatif singkat menimbulkan pertanyaan, apakah ketentuan yang berubah-ubah memang hal yang biasa terjadi di era pandemi seperti ini?
Advertisement
Menjawab pertanyaan tersebut, ahli epidemiologi Dicky Budiman mengatakan bahwa perubahan kebijakan adalah hal yang dapat diterima di tengah situasi pandemi yang dinamis.
“Tapi perubahan kebijakan tersebut tidak bisa juga menjadi alasan ‘Ah ini kan dinamis besok berubah lagi dan lagi’ enggak begitu juga. Karena perubahan satu kebijakan yang sifatnya berdampak besar perlu ada keleluasaan waktu untuk penyesuaian,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara Kamis (6/1/2022).
Simak Video Berikut Ini
Membangun Kepercayaan Masyarakat
Salah satu kebijakan besar menurut Dicky adalah yang terkait dengan karantina. Menurutnya, kebijakan karantina juga berkaitan dengan perencanaan, kesiapan, dan hal lain sebagainya.
“Ini perlu ada keleluasaan penyesuaian misalnya seminggu lagi atau dua minggu lagi akan diumumkan (perubahannya).”
Keleluasaan waktu tersebut juga diterapkan di berbagai negara maju dan berkembang yang penanganan pandeminya baik. Pasalnya, ini juga berdampak pada bukan hanya sektor kesehatan tapi juga berbicara kepercayaan (trust).
“Kepercayaan ini harus dibangun dengan misalnya kita mengambil kebijakan yang sudah matang sehingga orang juga tidak berpikir ‘ah nanti juga berubah lagi’ nah ini kan bicara trust,” kata epidemiolog yang sehari-hari bekerja di Griffith University, Australia.
Advertisement
Terlalu Cepat
Terkait keputusan karantina yang baru-baru ini terjadi, menurut Dicky perubahannya terlalu cepat.
“Ini saya kira enggak bisa cepat-cepat seperti ini, terlalu cepat dan ini menunjukkan berarti membuat kebijakannya enggak matang.”
“Ini memang situasi pandemi? Iya, tapi kalau cepat-cepat maka enggak matang. Beda kalau memang ada hal yang sangat signifikan misalnya ada varian baru yang sangat luar biasa tapi ini kan enggak ada.”
Ia juga menyampaikan bahwa secara epidemiologi tidak ada faktor yang memicu terjadinya perubahan keputusan dalam waktu singkat.
“Tapi enggak tahu ya kalau dari sisi politik dan ekonomi, saya tidak memiliki kapasitas untuk itu,” kata Dicky.
Infografis Pulang dari Luar Negeri Kudu Karantina Mandiri Bayar Sendiri
Advertisement