Liputan6.com, Jakarta Varian Alfa (B.1.1.7) COVID-19 yang bermula dilaporkan dari Inggris pernah jadi varian dominan di dunia dan menimbulkan peningkatan gelombang kasus pada akhir 2020 dan awal 2021.
Sampai saat ini varian Alfa masih digolongkan sebagai Variant of Concern (VOC) oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), bersama varian Beta, Gamma, Delta dan sekarang tentu Omicron.
Baca Juga
Di sisi lain, dilihat pada laporan mingguan mereka pada 17 Februari 2022, maka “European Centre for Disease Prevention and Control (E-CDC)” membuat klasifikasi baru dan melakukan de-eskalasi varian Alfa.
Advertisement
Suatu varian dapat “diturunkan klasifikasi”nya karena tiga alasan. Pertama, tidak lagi bersirkulasi. Kedua, sudah bersirkulasi cukup lama tapi tidak punya dampak pada situasi epidemiologi secara keseluruhan dan ketiga, bukti ilmiah menunjukkan bahwa varian itu tidak lagi berhubungan dengan aspek klinik tertentu.
Selanjutnya
E-CDC melakukan de-eskalasi varian Alfa dan sehingga tidak lagi masuk sebagai VOC, Variant of Interest (VOI) atau Variant under Monitoring (VUM) di Eropa karena dua hal konkret.
Pertama, sirkulasinya jauh menurun di Eropa seudah adanya varian Delta, dan kedua hanya punya bukti ilmiah amat terbatas tentang dampaknya pada imunitas yang ditimbulkan oleh vaksin.
Memang Uni Eropa dan juga beberapa negara (seperti Amerika Serikat, Inggris dll.) membuat daftar VOC, VOI dan VUM sendiri, sesuai keadaan di negara/kawasan mereka.
Mungkin akan baik juga kalau Indonesia melakukan hal yang sama, atau setidaknya Indonesia dapat memelopori untuk membahas dan menetapkan VOC, VOI dan VUM khusus untuk kawasan ASEAN, sehingga sesuai dengan masalah yang kita hadapi di tempat kita serta penangananya lebih terarah. Juga hal ini akan menunjukkan kepemimpinan diplomasi kesehatan Indonesia di kawasan regional dan internasional.
Tentu bukan hanya tentang klasifikasi, tetapi akan baik kalau ASEAN juga ada program bersama yang antara lain ditandai dengan semacam "ASEAN weekly epidemiological report on COVID-19" misalnya, yang dapat dipelopori oleh Indonesia.
**Penulis adalah Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI / Guru Besar FKUI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia TenggaraMantan DirJen P2P dan Mantan Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan
Advertisement