Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa pihaknya kini sedang melacak varian COVID-19 rekombinan yakni XE. Sebelumnya, varian XE dianggap lebih menular daripada induknya.
"Rekombinan akan muncul. Itu terjadi ketika setidaknya ada dua jenis virus berbeda yang menginfeksi sel yang sama dan bertukar gen diantaranya," ujar direktur emergensi WHO Western Pacific, Babatunde Olowokure dikutip SCMP, Jumat (8/4/2022).
Baca Juga
Babatunde menjelaskan, rekombinasi dalam Coronavirus sebenarnya merupakan hal umum dan dapat diduga. WHO pun masih terus memantau perkembangan varian ini.
Advertisement
"Kami terus memantau itu. Bagaimana mereka berkembang dan menyebar, terutama dalam hal apakah mereka lebih menular atau tidak," kata Babatunde.
Lebih lanjut ia menjelaskan, WHO juga sedang menilai tingkat keparahan penyakit yang muncul dari varian XE. Termasuk soal risiko infeksi ulang dan dampak kinerja vaksin pada varian tersebut.
Menurut badan kesehatan global, varian rekombinan yang dilacak kali ini (varian XE) merupakan garis keturunan varian XD, yang merupakan kombinasi varian Delta dan Omicron.
Selain itu, varian XD juga berasal dari garis keturunan XE, yang merupakan hibrida dari subgaris keturunan Omicron BA.1 dan BA.2.
Berdasarkan informasi lanjutan yang dikeluarkan WHO setiap minggunya, perkiraan awal menunjukkan bahwa varian XE akan 10 persen lebih mudah menular daripada BA.2.
Namun, varian XD sendiri tidak lebih menular daripada varian lain yang beredar. Sehingga penelitian terkait varian terbaru ini masih terus dikaji.
Perkuat sistem perencanaan
Hingga kini, varian XE telah terdeteksi di Inggris, India, dan Thailand. Pada wilayah Pasifik Barat yang meliputi Australia, China daratan, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, dan sebagian negara di Asia Tenggara, varian XE belum ditemukan.
Direktur regional Pasifik Barat, Takeshi Kasai mengungkapkan bahwa negara-negara tetap harus memperkuat sistem perencanaan COVID-19 untuk menghadapi lonjakan kasus dan mutasi.
Hal tersebut juga mengharuskan tiap-tiap negara memiliki kesiapan dalam menghadapi pandemi di masa depan.
"Kemungkinan virus ini tidak akan menghilang hanya dalam waktu dekat. Itu akan terus bermutasi dan melonjak," ujar Takeshi.
"Jadi bukan virusnya, tapi sistemnya yang secara berkelanjutan dapat mengendalikan lonjakan berulang COVID-19. Di samping itu, perlu juga menghindari gangguan yang signifikan bagi masyarakat," Takeshi menjelaskan.
Takeshi menambahkan, negara anggotanya sendiri sedang mengelola lonjakan agar tidak melebihi atau mencapai garis merah, dimana jumlah kasus parah melebihi kapasitas layanan kesehatan.
Advertisement
Cakupan vaksinasi
Dalam kesempatan yang sama, Takeshi juga menuturkan bahwa cara terbaik untuk mengakhiri darurat kesehatan yang terjadi di masyarakat ini adalah dengan memiliki cakupan vaksinasi yang tinggi.
Serta, didukung oleh kapasitas layanan kesehatan yang tinggi, dan mempertahankan langkah-langkah kesehatan di masyarakat.
Hal tersebut juga termasuk dengan memperkenalkan langkah-langkah yang lebih spesifik dalam pengaturan berisiko tinggi. Seperti sekolah yang harus lebih berhati-hati saat ingin kembali beroperasi.
Direktur Program Pengendalian Penyakit Regional WHO, Huong Tran sendiri menjelaskan, wilayah harus memiliki tingkat vaksinasi tinggi untuk kelompok yang paling rentan.
26 dan 37 negara dan wilayah telah memvaksinasi petugas kesehatan dan 23 negara telah memvaksinasi orangtua mereka.
"Pasokan dan distribusi vaksin tidak lagi menjadi masalah utama di wilayah kami. Sebagian besar negara dan wilayah termasuk negara berpenghasilan rendah dan menengah," ujar Huong.
"Serta negara-negara kepulauan Pasifik sekarang berada dalam posisi relatif baik dalam hal aksesibilitas dan ketersediaan vaksin," tambahnya.
Infografis
Advertisement