Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) diminta untuk lebih membuka mata terhadap pangan yang dijual di masyarakat tanpa izin edar dari BPOM.
Pemerintah didorong untuk lebih serius dalam menyosialisasikan bagaimana penggunaan zat kimia pangan tersebut dan zat-zat apa saja yang dilarang untuk dicampurkan pada makanan.
Baca Juga
Apabila hal ini terus dibiarkan, jangan heran jika semakin banyak pedagang nakal yang menambah zat-zat berbahaya pada makanan dan minuman yang dijual, seperti boraks dan formalin.
Advertisement
Hal ini disampaikan dosen dan peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor (IPB), Nugraha Edhi Suyatma dalam diskusi bertema Waspadai Zat Kimia pada Kemasan dan Makanan yang diadakan di MNC Trijaya FM belum lama ini.
Pada kesempatan itu, Edhi mengatakan bahwa pangan yang tak memiliki izin edar ini sulit dijangkau oleh BPOM, dan justru perlu pengawasan ketat.
"Tapi, kalau untuk konsumsi besar, mereka kan sudah taat aturan. Mereka pasti akan meminta izin khusus dulu kalau mau menggunakan bahan-bahan tambahan melebihi dari batas yang sudah ditentukan," kata Edhi.
Omongan Edhi ini berkaitan dengan BPOM yang di matanya terlihat amat gencar menggempur zat Bisfenol A atau BPA yang ada dalam kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat dengan alasan mengganggu kesehatan konsumen.
Padahal, lanjut Edhi, ada pengawasan pangan yang lebih penting untuk dilakukan dan jelas-jelas terbukti menyebabkan penyakit bagi para konsumennya.
Ada Banyak Hal yang Harus BPOM Awasi
Lebih lanjut Edhi, mengatakan, sebenarnya informasi mengenai zat-zat apa saja yang bisa digunakan untuk pangan dan batas-batas penggunaannya itu sudah diatur dalam peraturan BPOM dan sudah tersedia di situs resmi BPOM.
"Di sana diatur semua tentang keamanan pangan, tentang peraturan bahan tambahan pangan, itu sudah tertulis secara lengkap," katanya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 8 Agustus 2022.
Salah satu contoh perlunya pengawasan serius dari BPOM terhadap pangan adalah peristiwa yang baru-baru ini terjadi pada tubuh seorang anak berumur lima tahun di Ponorogo yang tiba-tiba terbakar saat akan menikmati jajanan ice smoke yang diolah dengan menggunakan nitrogen cair.
Akibatnya, kata Edhi, anak tersebut menderita luka bakar 30 persen di tubuhnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof Fredy Kurniawan menambahkan bahwa pada saat berada di suhu yang sangat dingin, zata seperti nitrogen cair itu tidak boleh bersentuhan dengan organ manusia secara langsung.
Walau nitrogen tidak mengeluarkan api, tapi menurut Fredy zat ini bisa menyebabkan terbakar karena suhu yang amat dingin atau cold burn.
"Bekas terbakar pada temperatur yang dingin, kulit seperti melepuh," ujarnya.
Advertisement
Perhatikan Pangan untuk Anak
Fredy, mengatakan, makanan yang diolah dengan nitrogen cair dengan cara yang tak tepat bisa menyebabkan luka bakar serius.
"Luka bakar serius (menjadi risiko paling bahaya). Ini benar-benar tidak boleh sampai tersentuh. Efek lain ketika nitrogen menguap yakni akan mengusir oksigen," katanya.
"Anda bayangkan kalau penjual itu tidak tahu, ditambahkan dalam jumlah agak banyak. Ada yang menguap, ada yang masih liquid. Yang liquid bisa masuk mulut dan menyebabkan terbakar mulutnya," Fredy menambahkan.
Selain itu, lanjut dia, ada juga kasus temuan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang terhadap belasan produk makanan jenis kerupuk dan mi yang beredar di tengah masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yang mengandung zat kimia berbahaya berupa auramin dan rhodamin B.
Yang tak kalah heboh adalah penggunaan etilen oksida yang digunakan untuk sterilisasi rempah-rempah. Zat ini sering digunakan pada sebagian produk makanan, seperti es krim, sereal sarapan, permen, atau keju, yang berfungsi sebagai zat pengental atau penstabil.
Pakar farmasi dari Universitas Gadjah Mada, Dr Arief Nurrochmad Msi Msc Apt, menyebut, etilen oksida termasuk bahan berbahaya dan beracun yang bisa memicu dampak buruk bagi kesehatan.
Kemudian penggunaan logam berat antimon sebagai katalis dalam pembuatan plastik PET yang bisa memunculkan masalah kesehatan. Ada juga minyak sayur brominasi yang sering dipakai untuk menggoreng atau menumis. Minyak sayur brominasi diketahui meninggalkan residu pada lemak tubuh, otak, hati dan organ lainnya.
Ilmuwan senior di pusat ilmu pengetahuan untuk kesehatan publik, Lisa Lefferts, mengatakan bahwa anak yang meminum banyak minuman bersoda yang mengandung minyak sayur brominasi akan mengalami toxicity bromine, yang mengakibatkan anak sering gugup serta bermasalah dengan memori otak dan masalah kulit.
Racun Kimia
Selanjutnya, Lisa, mengatakan, racun kimia yang umumnya digunakan untuk membunuh pestisida pada buah-buahan dan sayuran yang disukai anak-anak. Residu dari bahan kimia ini biasanya tertinggal atau menempel pada apel, stroberi, melon, ketimun dan sayuran lain yang menggugah untuk segera dimakan.
Residu pestisida yang ikut termakan oleh anak bisa menyebabkan disabilitas, perkembangan otak bermasalah dan gangguan saraf. Ini sangat berbahaya pula jika dikonsumsi oleh ibu hamil. Salah satu unsur kimia pestisida yang paling berbahaya adalah Chlorpyrifos yang dapat mematikan sel saraf anak.
Zat-zat kimia pangan lainnya yang perlu pengawasan serius BPOM adalah arsenik yang ada pada makanan sereal, camilan ringan, dan beras bubur yang biasa dikonsumsi anak-anak. Arsenic ini dapat menahan laju berat badan pada bayi dan anak-anak. Ini membuat mereka tetap kurus walau telah banyak makan.
Selain itu, dampak yang lebih serius adalah tumbuhnya sel kanker dan impotensi pada orang dewasa.
Phthalates, juga perlu diwaspadai. Zat ini biasa ditemukan pada plastik dan pembungkus makanan. Efeknya memang tidak langsung terlihat, tapi berbahaya untuk jangka panjang.
Aspartam atau pemanis buatan yang lebih manis daripada gula juga bisa menyebabkan kanker dan diabetes, dan sangat berbahaya bagi anak.
Zat kimia pangan lainnya yang berbahaya bagi kesehatan ada pada produk susu, dairy dan daging yang disebut-sebut sangat bergizi bagi anak.
Namun, kata Edhi, hampir semua produk tersebut mengandung antibiotik dan zat-zat pertumbuhan hormon dengan bakteri bersifat resisten.
Amerika dan Kanada pernah menolak pemasokan produk-produk ini karena dapat mempercepat masa pubertas pada anak-anak serta tumbuhnya sel kanker di usia muda.
Tidak hanya pada makanan saja, menurut Edhi pun zat-zat kimia yang ada pada kemasan juga perlu diwaspadai. Untuk kemasan plastik misalnya, semua zat kimia pada plastik itu berbahaya untuk kesehatan, sehingga perlu adanya pengaturan batas amannya dari BPOM.
Edhi menyebut bahwa jenis plastik galon polikarbonat dan jenis PET, jika mengacu pada peraturan BPOM, itu terdapat migrasi spesifik pada kedua jenis plastik itu.
Kalau di polikarbonat migrasi spesifik yang diatur adalah BPA, dan di PET juga diatur etilen glikolnya karena terdapat zat-zat berbahaya di situ.
"Tapi, saya kira untuk perusahaan besar yang pasti sudah mendaftarkan pre market di BPOM, itu pasti sudah diawasi mutu dari galon yang mereka pakai dan sudah tentu aman untuk digunakan. Yang perlu diawasi itu justru yang belum ada izin edarnya," dia menekankan.
Advertisement