Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin berharap Indonesia ikut menjadi salah satu negara terdepan dalam produksi vaksin mRNA di dunia. Vaksin mRNA tidak menggunakan virus atau kuman yang dilemahkan atau dimatikan, melainkan komponen materi genetik yang direkayasa agar menyerupai kuman atau virus tertentu.
Indonesia mulai memproduksi vaksin mRNA, khususnya untuk vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh PT Etana Biotechnologies Indonesia. Pengembangan vaksin tersebut bekerja sama dengan Abogen-Yuxi Walvax, Tiongkok.
Baca Juga
"Dengan adanya pabrik ini (pabrik biofarmasi PT Etana Biotechnologies Indonesia), Indonesia bisa menjadi salah satu negara, jajaran terdepan yang memproduksi mRNA vaccine (vaksin mRNA) di dunia," ucap Budi Gunadi usai peresmian Pabrik Biofarmasi PT Etana Biotechnologies Indonesia di Kawasan Industri Pulogadung (JIEP) beberapa hari lalu.
Advertisement
"Vaksin mRNA itu sejak awal research (penelitian) sampai uji klinik bisa di bawah 100 hari (proses pengembangan). Jadi, penting sekali bagi kita untuk memiliki teknologi ini (teknologi mRNA)."
PT Etana Biotechnologies Indonesia yang berlokasi di Kawasan Industri Pulogadung (JIEP) berdiri di atas tanah seluas 6.471 m2. Pabrik ini memiliki keunggulan fasilitas teknologi yang terkini, quality system, dan fasilitas berstandar internasional serta ramah lingkungan.
Etana menjadi perusahaan farmasi pertama di ASEAN yang memiliki teknologi mRNA. Teknologi mRNA merupakan platform pengembangan vaksin yang fleksibel sehingga dapat merespon dengan cepat kebutuhan akan produk biofarmasi yang inovatif dan fleksibel untuk penyakit kanker, vaksin dan lainnya.
Untuk pengembangan vaksin baru dengan teknologi mRNA, hanya dibutuhkan waktu singkat yaitu kurang lebih dalam waktu dua bulan produk vaksin tersebut dikembangkan dan siap masuk ke fase uji klinik.
Tren Obat-obatan Berbasis Biologis
Seiring dengan perkembangan teknologi obat-obatan, menurut Budi Gunadi Sadikin, tren dalam beberapa tahun terakhir semakin maju. Pengembangan obat-obatan makin banyak berbasis biologis.
Obat biologis adalah produk molekuler besar secara medis yang diciptakan dari makhluk hidup dan mengandung protein dari sel hidup.
"Memang dulu industri farmasi obat-obatan produksinya berbasis kimia. Tapi kalau kita dengar holdingnya Bio Farma kan perusahaan farmasi obat-obatan yang juga berbasis biologis," lanjut Menkes Budi Gunadi.
"Tren di dunia dalam 10 tahun terakhir, obat-obatan yang makin laku, makin advance (maju) itu berbasis biologis."
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun mendorong pengembangan obat-obatan yang tidak hanya berbasis kimia, melainkan juga biologis. Apalagi Indonesia punya kekayaan biodiversitas dan keanekaragaman hayati genomik yang luar biasa.
Salah satunya, ditandai dengan diluncurkannya Pusat Research Bioteknologi Kesehatan yang diberi bernama Biomedical dan Genome Sience Initiative (BGSi).
BGSi merupakan program inisiatif nasional pertama yang dibuat oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin guna mengembangkan pengobatan yang lebih tepat bagi masyarakat. Caranya, mengandalkan teknologi pengumpulan informasi genetik (genom) dari manusia maupun patogen seperti virus dan bakteri atau bisa disebut dengan Whole Genome Sequensing (WGS).
Dukungan dalam memproduksi obat biologis termasuk salah satu upaya Kemenkes dalam mewujudkan transformasi kesehatan.
“Mudah-mudahan ke depannya, Indonesia memimpin bioteknologi ini dan kita akan menjadi negara maju,” harap Budi Gunadi.
Advertisement
Transfer Teknologi mRNA ke Bio Farma
Terkait teknologi vaksin mRNA, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah fokus memperluas transfer teknologi tersebut ke 15 negara. Negara penerima perluasan transfer teknologi vaksin ‘canggih’ untuk menanggulangi penyakit ini juga termasuk Indonesia, yang mana dipegang oleh PT Bio Farma Tbk.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, upaya perluasan teknologi vaksin mRNA ditandai awal dengan didirikannya pusat (hub) di Afrika Selatan. Selanjutnya, transfer teknologi vaksin mRNA tersebut mulai diperluas ke negara-negara lain.
“WHO dan mitra telah mendirikan MRNA technology transfer Hub (hub transfer teknologi mRNA) di Afrika Selatan, yang sudah mulai mentransfer teknologi ke 15 negara penerima,” kata Tedros dalam sambutan pertemuan 'The 3rd G20 Health Working Group' di Hilton Resort, Nusa Dua Bali beberapa waktu lalu.
“Kemudian membangun inisiatif pelatihan tenaga kerja biomanufaktur di Republik Korea (Korea Selatan). Sementara ini, fokus awal adalah teknologi mRNA, nanti dapat diperluas ke teknologi lainnya di masa depan.”
WHO juga bekerja sama dengan Regulatory Agencies – lembaga/otoritas yang berwenang pada masing-masing negara – untuk memperkuat kapasitas dalam memutuskan dan memberikan kualifikasi serta kelayakan terhadap vaksin dan produk biologis lainnya demi memenuhi kebutuhan regional dan global.
Perluasan Kapasitas Riset
Komitmen WHO untuk memperluas transfer teknologi mRNA juga sejalan dengan fokus agenda Presidensi G20 Indonesia dalam ‘3rd Health Working Group’ dengan hasil (deliverable/output) memperluas dan mengembangkan kapasitas pusat riset dan manufaktur global secara merata di seluruh negara.
Tujuannya, agar setiap negara dapat siap bila pandemi sewaktu-waktu terjadi di masa depan. Diharapkan negara anggota G20 ikut menyepakati perluasan kapasitas pusat riset dan manufaktur tersebut.
“Saya berterima kasih kepada Indonesia atas kepemimpinannya selama Presidensi G20 dan semua negara anggota G20 atas dukungannya yang murah hati. Hanya dengan bekerja sama dalam solidaritas, kita dapat mengendalikan pandemi dan mendorong pemulihan yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan,” terang Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Tedros mengingatkan kembali, bahwa diperlukan kesiapan dalam menghadapi situasi darurat kesehatan. Belajar dari pandemi COVID-19, akses vaksin dan manufaktur termasuk terapeutik dan alat diagnostik sangat penting untuk penanganan respons situasi darurat.
Pada awal pandemi COVID-19, banyak negara terutama yang berpenghasilan menengah ke bawah sulit mendapatkan akses obat-obatan dan alat kesehatan lain. Mereka ‘berlomba-lomba’ dengan negara berpenghasilan menengah ke atas untuk mengimpor kebutuhan pengobatan dan perawatan.
Selain itu, kedaruratan situasi COVID-19 juga membuat negara, terlebih negara pemasok vaksin dan obat-obatan di dunia melakukan lockdown. Akibatnya, negara lain tidak bisa mendatangkan pasokan vaksin dan obat-obatan untuk penduduknya sendiri.
Advertisement