Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Muhadjir Effendy meminta fasilitas kesehatan (faskes) untuk memeriksa kesehatan anak yang telanjur konsumsi obat sirup. Upaya ini demi mendapatkan data kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA) yang lebih rinci.
Obat sirup terutama untuk batuk, pilek dan demam banyak dikonsumsi anak-anak, baik secara bebas maupun diperoleh dari resep dokter. Namun, kandungan Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) ditemukan dalam obat sirup yang berkaitan dengan timbulnya gagal ginjal akut.
Baca Juga
"Untuk mengantisipasi agar tidak ada lagi korban fatalitas (kematian), saya minta agar pelayanan kesehatan dari tingkat terkecil di desa atau kelurahan untuk proaktif turun dan melakukan penyisiran kasus," ucap Muhadjir dalam pernyataan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Sabtu, 22 Oktober 2022.
Advertisement
"Jadi, saya mohon pihak Kepala Desa, bidan desa, Kepala Puskesmas untuk menyisir anak-anak usia 15 tahun ke bawah untuk dilakukan pemeriksaan secara masif, baik mereka yang sudah memakai obat sirup maupun yang belum."
Pengecekan dan pendataan riwayat kesehatan dan obat sirup yang dikonsumsi anak-anak, menurut Muhadjir kini menjadi lebih mudah. Sebab, setiap faskes sudah dilengkapi data penanganan stunting, yang mana nama dan jumlah anak yang berobat tercatat.
Diharapkan dengan faskes yang proaktif menyisir kesehatan anak dapat ditemukan lebih dini kasus gangguan ginjal akut sehingga anak dapat lekas mendapat perawatan.
"Saat ini untuk melakukan pendataan anak-anak sudah lebih terbantu dengan adanya data penanganan stunting di daerah-daerah sampai tingkat desa, yang bisa membantu untuk mengecek kondisi kesehatan anak," terangnya.
Catat Riwayat Pengobatan Anak
Adanya kasus gagal ginjal akut yang dialami anak, khususnya balita, ditegaskan Muhadjir Effendy harus menjadi momentum reaktivasi pelayanan kesehatan dasar untuk memperkuat pelayanan kesehatan masyarakat.
Menurutnya, kasus yang sampai menelan 241 anak (data per 21 Oktober 2022), harus dicegah sehingga jangan sampai ketika parah, baru kemudian ditangani yang berujung peningkatan potensi kematian atau fatalitas.
"Yang paling penting, kita harus cermati seluruh anak-anak yang di bawah 15 tahun di seluruh Indonesia. Tidak boleh dari pihak pelayanan kesehatan menunggu mereka datang diobati," tegas Menko PMK.
"Tetapi harus menyisir sampai tingkat paling bawah untuk dicatat riwayat kesehatan riwayat pengobatannya, sehingga kalau ada kemungkinan dikhawatirkan dia mengalami kasus serupa itu bisa dicegah jauh-jauh hari."
Adapun reaktivasi pelayanan kesehatan artinya, mengaktifkan kembali pelayanan kesehatan terutama faskes tingkat primer seperti Puskesmas dan Posyandu.
Sementara data persentase kasus gangguan ginjal akut menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 21 Oktober 2022, total sembuh sebanyak 39 kasus, sedang dalam pengobatan 69 kasus, dan meninggal dunia 133 kasus.
Berdasarkan hasil pemantauan Kemenkes, banyak kasus yang terjadi pada anak rentang usia 1 - 5 tahun dengan total 153 kasus. Kemudian usia 6 - 10 Tahun 37 kasus, di bawah 1 tahun 26 kasus, dan 11 - 18 tahun 25 kasus.
Advertisement
Kontaminasi Etilen Glikol dan Dietilen Glikol
Terkait senyawa Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) dalam kandungan obat sirup anak, Pakar Farmasi Universitas Surabaya (Ubaya) Eko Setiawan mengungkapkan tergantung pada kadar yang digunakan.
Berdasarkan persyaratan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mengacu pada Farmakope Indonesia, jika penggunaan (dosis) melewati ambang batas tertentu, maka akan jadi berbahaya dan berakibat fatal.
"Etilen glikol dan dietilen glikol ini sifatnya cemaran. Tidak ada yang sengaja menggunakan dua senyawa tersebut dalam farmasi. Tapi ditemukannya kontaminasi," ujar Eko yang juga peneliti Pusat Informasi Obat dan Layanan Kefarmasian (PIOKL) Ubaya dalam keterangannya, Jumat (21/10/2022).
Eko mencontohkan dalam peracikan obat serbuk paracetamol sebagai bahan aktif untuk dijadikan obat sirup. Perlu dilarutkan untuk menjadi cair dengan senyawa pelarut. Dalam prosesnya, apoteker perlu menambahkan pemanis dan obat stabil dalam waktu lama.
"Beberapa tambahan itu bisa mengalami reaksi kimia, sehingga muncul etilen glikol dan dietilen glikol. Asal, tidak melebihi batas ambang dan selama ada di bawah batas ambang, konsumsinya aman," jelasnya, dikutip dari Surabaya Liputan6.com.
Pengecekan Zat Cemaran
Eko Setiawan melanjutkan, ambang batas pada senyawa gliserin diizinkan di angka 0,1 persen, dari total gliserin yang digunakan. Sedangkan, untuk etilen glikol batas ambang yang diizinkan sebanyak 0,25 persen.
"Jika (penggunaan) diatas (batas ambang) itu akan berbahaya. Jika kadarnya di bawah itu, diharapkan tidak membawa bahaya dan aman," lanjutnya.
Sebelum obat diproduksi massal ada tahapan quality assurance (kemanan produk untuk masyarakat) dan quality control untuk kelayakan produk obat sebelum disebarkan di pasar dan dikonsumsi. Pengecekan ini juga terjadi saat industri farmasi membeli bahan baku obat, pabrik obat akan meminta bukti.
"Setiap kali bahan baku yang dipakai untuk sirup datang, selalu di tes (pabrik obat). Apakah ada cemaran atau tidak," tutup Eko.
Advertisement