Dulu Tak Ada Kasus Gangguan Ginjal Akut yang Diduga karena Obat Sirup, Mengapa Sekarang Demikian?

Gangguan ginjal akut tidak ditemukan di tahun-tahun sebelumnya. Padahal, obat yang mengandung bahan pembantu pelarut seperti parasetamol sudah dikonsumsi sejak dulu dan aman-aman saja.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 25 Okt 2022, 16:00 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2022, 16:00 WIB
Penny dan Budi
Kepala BPOM Penny Lukito dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin soal gangguan ginjal akut Senin (24/10/2022). Foto: tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden.

Liputan6.com, Jakarta - Gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) yang diduga akibat cemaran bahan pembantu pelarut obat etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) terbilang baru. Pasalnya, penyakit ini tidak ditemukan di tahun-tahun sebelumnya.

Padahal, obat yang mengandung bahan pembantu pelarut seperti parasetamol sudah dikonsumsi sejak dulu dan aman-aman saja.

Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, zat kimia berbahaya etilen glikol merupakan impurities atau cemaran dari pembantu pelarut obat seperti polietilen glikol. Pembantu pelarut ini memang sudah lama digunakan.

“Memang banyak yang bertanya ‘Kok dulu enggak apa-apa, sekarang jadi seperti ini?’ Penyebab cemaran ini paling besar dari bahan baku. Jadi kalau kita lihat kenapa sekarang begini, dulu tidak, kita sudah berkoordinasi dengan BPOM untuk melihat jenis, tipe, atau asal dari bahan bakunya,” kata Budi dalam konferensi pers Senin (24/10/2022).

Ia menambahkan, pihaknya sudah mendapatkan data soal pergeseran dari negara-negara mana saja impor bahan baku itu berasal. Namun, data ini akan disampaikan dalam kesempatan khusus mendatang.

“Tapi kalau bertanya ‘Kenapa dulu enggak, sekarang iya?’ Ini memang sangat tergantung pada bahan bakunya.”

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan pengawasan sesuai ketentuan tata cara pembuatan obat.

Dalam ketentuan ini ditetapkan kadar dan cara pengawasannya. Sedangkan, EG dan DEG sendiri belum memiliki standar untuk menjadi referensi BPOM untuk melakukan pengawasan.

“Karena memang ini (EG dan DEG) dilarang dari awal sebagai bahan baku.”

Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Penny juga menekankan bahwa pelaku usaha atau produsen obat memiliki tanggung jawab untuk betul-betul melakukan studi atau kajian analisa cemaran terhadap bahan baku yang mereka beli.

Pasalnya, perubahan bahan baku, perubahan kadar, atau hal lainnya bisa saja menyebabkan perubahan kadar cemaran yang ada dalam obat.

“Itu tanggung jawab mereka (produsen) untuk melakukan pengujian. Dan saya kira adanya perubahan kadar atau hal lain yang saya tidak tahu tentunya ini perlu pendalaman lebih jauh sehingga berubahlah kadar cemaran tersebut.”

Perubahan kadar cemaran juga bisa muncul kembali di masa depan karena proses terbentuknya EG dan DEG ini bisa terus berjalan seiring proses produksi.

“Intinya Badan POM sudah melakukan pengawasan sesuai aturan yang ada, tapi dengan melihat kondisi sekarang memang ada beberapa titik standar yang harus diperkuat lagi.”

Kadar Cemaran Tak Boleh Lebihi Ambang Batas

Perubahan kadar cemaran seperti yang disebutkan Penny memang berpengaruh pada obat. Pasalnya, menurut Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zullies Ikawati, cemaran seperti EG dan DEG memang boleh ada dalam obat. Dengan catatan, tidak melebihi ambang batas yang telah ditentukan.

Zullies menambahkan, salah satu contoh agen pembantu pelarut obat yang bisa memicu munculnya EG dan DEG adalah propilen glikol.

“Bahan ini enggak bisa pure atau murni karena dalam proses pembuatan selalu ada cemaran, jadi EG dan DEG ini adalah sisa-sisa dalam proses pembuatan. Adanya kandungan EG dan DEG ini wajar jika dalam batas tertentu.”

Propilen glikol sebagai bahan baku masih boleh memiliki cemaran seperti EG dan DEG asalkan masih dalam ambang batas wajar yakni 0,1 persen. Jika melewati batas ini, maka bahan baku tersebut tidak memenuhi syarat dan tak bisa diformulasi. Ketika sudah memenuhi syarat baru bisa diformulasi.

Ketika obat sudah jadi, maka masih wajar jika terkandung EG dan DEG selama masih dalam ambang batas yang ditentukan.

Tak Semua Obat Sirup Mengandung EG dan DEG

Senada dengan Penny, Zullies mengatakan bahwa EG dan DEG memang tak boleh ditambahkan dalam obat. Zat ini bukan untuk dimakan karena bersifat racun. Adanya EG dan DEG dalam obat biasanya bukan sesuatu yang disengaja. Ini adalah bawaan dari propilen glikol.

“Pada dasarnya memang tidak boleh ditambahkan karena sifatnya beracun, memang bukan untuk dimakan, biasanya untuk permesinan seperti radiator.”

Ia juga menanggapi soal pernyataan industri obat yang mengklaim bahwa mereka tidak menambahkan etilen glikol dan dietilen glikol dalam produk mereka.

“Ya jelas enggak ditambahkan karena memang tidak boleh, tapi industri harus membuktikan kadar EG dan DEG dalam obat mereka apa masih dalam ambang batas wajar atau tidak.”

Ia pun mengatakan bahwa belum tentu semua obat sirup mengandung EG dan DEG. Pasalnya, agen pelarut yang membawa cemaran EG dan DEG hanya digunakan pada bahan yang sukar larut dalam air.

“Jika bahan obatnya mudah larut dalam air untuk apa ditambah lagi propilen glikol,” katanya.

 

Infografis Gejala Gagal Ginjal Akut Misterius, Penyebab Kematian & Antisipasi
Infografis Gejala Gagal Ginjal Akut Misterius, Penyebab Kematian & Antisipasi (Liputan6/com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya