Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin telah mengonfirmasi bahwa terdapat lima penyebab terjadinya gagal ginjal akut. Namun, keracunan obat yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) itulah yang menjadi faktor risiko terbesarnya.
"Kalau ditanya penyebabnya apa, saya bilang penyebabnya sudah pasti. Maksud saya pasti adalah faktor risiko paling besar menyebabkan anak ini meninggal itu keracunan obat," ujar Budi Gunadi saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR pada Rabu, 2 November 2022.
Baca Juga
"Apakah ada yang meninggal bukan karena obat? Saya rasa pasti ada, karena tanpa obat pun bulan-bulan sebelumnya ada," tambahnya.
Advertisement
Pria yang akrab disapa BGS tersebut menyebutkan faktor lainnya yang dianggap berkontribusi adalah infeksi dari virus atau bakteri, kelainan kongenital (genetik), dehidrasi berat, dan kehilangan darah.
"Memang ada penyebab-penyebab AKI (Acute Kidney Injury) yang lain, betul. Tapi yang paling drastis menyebabkan kenaikan ini adalah adanya senyawa kimia berbahaya di obat," ujar Budi Gunadi.
Berkaitan dengan hal ini, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Zullies Ikawati mengungkapkan bahwa perlu adanya regulasi baru yang mewajibkan para industri farmasi memastikan kembali kualitas bahan baku yang digunakan, dan tidak hanya mengacu pada apa yang diperoleh dari supplier.
"Maksudnya perlu dibuat regulasi baru yang mewajibkan industri farmasi untuk memastikan lagi kualitas bahan bakunya, tidak hanya mengacu pada Certificate of Analysis (CoA) produk yang diperoleh dari supplier," ujar Zullies pada Health Liputan6.com ditulis Jumat, (4/11/2022).
Regulasi untuk Ukur Cemaran EG dan DEG
Bahkan menurut Zullies, perlu adanya tambahan regulasi juga terkait dengan cemaran EG dan DEG dalam suatu produk obat. Hal ini akan berguna untuk lebih menegaskan soal batasan yang diperbolehkan dan tidak.
"Juga ada tambahan regulasi terkait mengukur cemaran EG dan DEG jika perlu pada produk jadi atau final product," kata Zullies.
Selama ini, adanya kandungan EG dan DEG dalam suatu produk obat memang diperbolehkan. Hanya saja batasnya 0,1 mg/ml dari setiap produk. Sehingga bila melebihi kadar tersebut, maka kandungan ini akan menjadi cemaran yang membahayakan bagi konsumen.
Banyak masyarakat menilai bahwa masalah cemaran dalam obat sendiri merupakan bentuk kelalaian pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dalam mengawasi mutu dan keamanan obat.
Namun menurut Zullies, hal ini bisa disebut kelalaian jika aturan yang dilakukan tidak ditetapkan. Sementara pihak BPOM RI sebenarnya telah melakukan pemeriksaan yang sesuai aturan.
Seperti diketahui, hingga saat ini pengawasan obat yang beredar dilakukan secara acak. Belum secara spesifik pada seluruh obat yang dijual. Terutama soal kadar EG dan DEG dalam obatnya.Â
Advertisement
Belum Ada Aturan Pengukuran EG dan DEG
Menurut Zullies, jika merujuk pada permasalahan saat ini, memang belum ada aturan yang mengharuskan kadar EG dan DEG diukur dengan sebagaimana mestinya. Padahal, penting untuk mengetahui takaran keduanya.
"Tetapi dalam masalah ini, pengawasan obat pasca pasar sudah dilakukan, hanya saja memang tidak ada yg mengatur bahwa EG (etilen glikol) dan DEG (dietilen glikol) pada produk jadi itu harus diukur," kata Zullies.
"Ini memang menjadi kelemahan, ketika kemudian ditemukan bahwa ada produk-produk yang memang mengandung ED/DEG dalam dosis yang jauh melebihi batas aman. Dengan adanya kejadian ini, maka ini menjadi hal baru yang perlu diatur lagi," tambahnya.
Selain itu, Zullies mengungkapkan soal pentingnya kajian saintifik untuk mendukung penyebab gagal ginjal akut. Dengan begitu, pihak BPOM RI maupun Kementerian Kesehatan benar-benar bisa membuktikan penyebabnya.
"Menurut saya perlu dilakukan kajian saintifik yang benar-benar bisa menggali penyebab pasti kematian anak dengan gagal ginjal akut. Apakah memang ada kaitannya dengan penggunaan obat, atau ada faktor lain," ujar Zullies.
Aturan Kadar EG dan DEG
Budi Gunadi mengungkapkan bahwa EG dan DEG sebelumnya memiliki kadar atau batas aman yang boleh dikonsumsi oleh anak per harinya. Kadar tersebut berada pada batas 0,1 mg/ml.
"Itu sebabnya kenapa ditaruh di standarnya cemaran ini tidak boleh lebih dari 0,1 mg/ml, karena itu tadi. Hitung-hitungannya sebenarnya sudah jelas, yang kejadian adalah begitu diukur di atas itu," ujar Budi Gunadi.
"Kenapa? Kalau dari informasi yang saya dapat dari para ahli, kalau ada kenaikan yang tinggi dari cemaran, itu biasanya datang dari bahan bakunya, dari pelarutnya. Bukan dalam prosesnya," tambahnya.
Sehingga menurut Budi Gunadi, hal itu menjadi tugas BPOM RI untuk melacak dimana letak perubahan bahan bakunya.
"Jadi kalau ditanya, 'Dulu enggak pernah kejadian. Kenapa sekarang kejadian?' Itu tinggal dilacak apakah ada perubahan bahan baku. Sehingga terjadi kenaikan kadar EG dan DEG yang melebihi ambang batas," kata Budi Gunadi.
Advertisement