Liputan6.com, Jakarta - Seorang remaja yang menderita leukemia agresif kini tidak memiliki sel kanker yang dapat dideteksi di tubuhnya. Ini berkat terapi eksperimental di mana anak berusia 13 tahun itu menerima sel-sel imun baru yang direkayasa secara genetik.
Pasien bernama Alyssa ini berada dalam remisi, meski masih perlu dipantau secara ketat selama beberapa bulan mendatang untuk memastikan bahwa dia benar-benar bebas leukemia, menurut Great Ormond Street Hospital for Children (GOSH) di Britania Raya, rumah sakit tempat Alyssa mendapat perawatan.
Baca Juga
Sebelumnya, Alyssa telah menjalani kemoterapi dan transplantasi sumsum tulang, tetapi kankernya terus kembali. Seandainya dia tidak mengikuti uji klinis untuk perawatan eksperimental, satu-satunya pilihan yang tersisa adalah perawatan paliatif untuk meringankan gejalanya, bukannya menyembuhkan kankernya.
Advertisement
"Saya merasa sangat terhormat, dan rasanya menyenangkan telah membantu orang lain juga," kata Alyssa dalam video yang dirilis oleh GOSH, dikutip dari New York Post.
Dia adalah pasien pertama yang menerima model terapi baru ini. Sementara itu, dokter berencana mendaftarkan total 10 pasien berusia antara 6 bulan dan 16 tahun dalam uji cobanya yang sedang berlangsung.
Tim mempresentasikan hasil awal Alyssa pada Sabtu (10/12/2022) di pertemuan tahunan American Society of Haematology di New Orleans, Louisiana.
Alyssa didiagnosis menderita leukemia limfoblastik akut sel-T (T-ALL) pada Mei 2021, menurut GOSH. T-ALL memengaruhi sel induk di sumsum tulang. Pada T-ALL, sel-T yang abnormal dan belum matang menumpuk di dalam tubuh dan memadati sel-T yang sehat, membuat pasien rentan terhadap infeksi.
Perawatan T-ALL
Perawatan untuk T-ALL termasuk kemoterapi guna membunuh sel-sel kanker serta transplantasi sumsum tulang yang menggantikan sel induk pasien yang sakit dengan sel sehat dari donor. Sayangnya, seperti dalam kasus Alyssa, strategi ini tidak selalu membuat penyakit terkendali.
"Sekitar 20 persen pasien dengan T-ALL akan kambuh, dan prognosis untuk T-ALL yang kambuh buruk, menurut ulasan tahun 2016 di jurnal Hematology ASH Education Program.
Perawatan yang berbeda, yang disebut terapi sel CAR-T, dapat menangani bentuk lain dari ALL, tetapi tidak untuk T-ALL. Terapi ini melibatkan pengangkatan beberapa sel-T pasien, mengutak-atik DNA-nya di laboratorium dan kemudian memperkenalkannya kembali ke dalam tubuh.
Sel-T yang dimodifikasi ini dimaksudkan untuk memburu dan membunuh sel-sel kanker. Meskipun demikian, dalam T-ALL, sel-T salah mengira satu sama lain sebagai musuh.
Saat ini, para peneliti di GOSH dan University College London (UCL) Great Ormond Street Institute of Child Health masih berusaha mencari cara untuk mencegah perseteruan antarsahabat ini.
Advertisement
CRISPR
Sementara itu, untuk terapi baru, para ilmuwan melucuti sel-T donasi dari reseptor tertentu yang membuatnya terlihat asing bagi sistem kekebalan tubuh penerima.
Sel-sel juga kehilangan CD7, protein yang ditemukan pada semua sel-T, dan protein lain yang disebut CD52, yang ditargetkan oleh perawatan kanker tertentu. Pada akhirnya, sel-T mendapat reseptor baru yang memungkinkannya menargetkan sel-T pembawa CD7 termasuk yang kanker, menurut UCL.
Untuk menerapkan semua perubahan genetik ini, tim menggunakan bentuk modifikasi dari model pengeditan gen terkenal CRISPR—suatu teknik rekayasa genetika yang dapat membantu penderita kanker sembuh dari penyakitnya.
Menurut jurnal medis Nature, para ilmuwan menggunakan teknologi CRISPR untuk mengarahkan sel-sel kekebalan tubuh untuk menyerang mutasi protein yang menumbuhkan tumor kanker sambil mencegahnya menimbulkan bahaya pada jaringan non-kanker yang sehat.
CRISPR, yang merupakan singkatan dari Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats mengacu pada sekelompok sekuens DNA yang bertindak sebagai penjaga gerbang genetik.
Teknik Pengeditan Dasar
Dalam kasus Alyssa, CRISPR digunakan untuk menukar huruf individual dalam kode DNA sel-T. Teknik ini disebut "pengeditan dasar." Alyssa adalah pasien pertama yang menerima terapi sel CAR-T dengan pengeditan dasar.
Dilansir dari New York Post, setelah sebulan perawatan, Alyssa masuk remisi.
Dia kemudian menerima transplantasi sumsum tulang kedua untuk mengembalikan fungsi kekebalan tubuhnya, karena terapi eksperimental ini telah menghancurkan sel-T-nya. Senangnya, selang enam bulan setelah transplantasi, kankernya tetap tidak terdeteksi dan dia sedang memulihkan diri di rumah.
"Para dokter mengatakan enam bulan pertama adalah yang paling penting dan kami tidak ingin menjadi terlalu angkuh, tetapi kami terus berpikir 'Jika mereka bisa menyingkirkannya, sekali saja, dia akan baik-baik saja,'" ujar ibu Alyssa, Kiona, kepada GOSH. "Dan mungkin kami benar."
Alyssa berharap untuk kembali ke sekolah dan ini bisa segera jadi kenyataan, tutur ibunya.
Â
(Adelina Wahyu Martanti)
Advertisement