Aturan Dapat Surat Sakit, Tak Bisa Jika Hanya Konsul Pertama Kali dari Telemedisin

Penggunaan telemedisin sebenarnya masih terbatas. Selain karena tidak bisa melakukan pemeriksaan fisik secara langsung oleh dokter, keterbatasan lainnya berhubungan dengan surat sakit.

oleh Diviya Agatha diperbarui 29 Des 2022, 15:00 WIB
Diterbitkan 29 Des 2022, 15:00 WIB
Telemedisin
Aplikasi kesehatan. (Foto: Unsplash/National Cancer Institute)

Liputan6.com, Jakarta - Telemedisin sudah semakin marak digunakan terutama sejak pandemi COVID-19. Konsultasi dengan dokter dan membeli obat jadi jauh lebih mudah. Namun, penggunaan telemedisin sebenarnya masih terbatas.

Selain karena tidak bisa melakukan pemeriksaan fisik secara langsung oleh dokter, keterbatasan lainnya berhubungan dengan surat sakit.

Ketua Bidang Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr dr Beni Satria mengungkapkan bahwa surat sakit sebetulnya tidak bisa jika didapatkan hanya dari konsultasi dengan dokter di layanan telemedisin.

Beni menjelaskan, regulasi telemedisin yang ada saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pelayanan Telemedisin. Dalam aturan itu, jelas tertulis bahwa layanan hanya boleh dilakukan antar fasilitas kesehatan.

"Jadi untuk memberikan surat keterangan (termasuk surat keterangan sakit), boleh saja dengan telemedisin kalau memang pasien itu sudah pernah berobat dan rumah sakit sudah pernah memeriksa pasien datang. Datanya sudah ada di rumah sakit, ada rekam medisnya, dan kemudian dia berkonsultasi ulang," ujar Beni dalam media briefing ditulis Kamis, (29/12/2022).

"Tapi untuk konsultasi pasien pertama, misalnya saya kemudian mengklik salah satu layanan telemedisin dengan dokter padahal saya belum pernah bertemu, itu bisa masuk dalam potensi pelanggaran etik, disiplin, bahkan hukum," tegasnya.

Hal tersebut lantaran ada rangkaian proses sendiri yang perlu dilakukan oleh dokter secara langsung sebelum bisa mengeluarkan surat sakit.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Menentukan Kondisi Seseorang, Tidak Bisa dari Telemedisin

Ilustrasi konsultasi lewat telemedisin
Ilustrasi konsultasi lewat telemedisin (unsplash.com/Christin Hume)

Beni mengungkapkan bahwa masyarakat maupun dokter perlu berhati-hati. Mengingat rangkaian praktik kedokteran memang harus dilakukan terutama jika hendak mendapatkan atau mengeluarkan surat sakit.

"Hati-hati. Menentukan cacat, lemah, sakit atau tidak (milik) seseorang, itu tidak bisa hanya dari telemedisin atau telekonsultasi. Telemedisin yang dilakukan hanyalah telekonsultasi," kata Beni.

"Jadi harus hati-hati di situ karena ketika dokter mengeluarkan ada atau tidak adanya penyakit pasien, ada tidak adanya kelemahan atau cacat, itu akan ada potensi di Pasal 267 UU Hukum Pidana. Pasiennya bisa diancam dengan ancaman pidana paling tinggi empat tahun penjara, termasuk dokternya juga."

Lebih lanjut Beni menjelaskan, kewenangan untuk menindaklanjuti kasus semacam itu sendiri merupakan tanggung jawab pihak berwajib yakni Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Majelis Disiplin Dokter dibawah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Dalam hal ini, IDI hanya bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan etik pada dokter yang bersangkutan.


Rangkaian Praktik Kedokteran yang Harus Dilakukan, Ada Apa Saja Sih?

ilustrasi dokter
ilustrasi dokter/Photo by rawpixel.com from Pexels

Sebelumnya, Beni pun menjelaskan secara rinci rangkaian hal apa saja yang perlu dilakukan dokter sebelum mengeluarkan surat sakit pasien. Pertama, dokter perlu melakukan anamnesa atau mewawancarai pasien agar mengetahui kondisi awal yang dikeluhkan.

"Kalau dalam istilah polisi, wawancara itu interogasi, BAP (berita acara pemeriksaan). Jadi dia harus wawancarai dulu pasiennya. Setelah diwawancarai, kalau dia pusing, pusingnya sudah berapa lama? Batuk, batuknya berapa lama? Batuknya berdahak atau kering, itu wawancara. Digali terus," ujar Beni.

Kedua, yang perlu dilakukan dokter adalah pemeriksaan fisik pasien. Mulai dari suhu tubuh, tekanan darah, hingga denyut yang muncul dari tubuh. Bahkan, dokter perlu memeriksa dengan meminta pasien berjalan, berdiri, hingga jongkok secara berulang.

"Jadi periksa fisiknya. Kalau memang dia mengaku batuk, dokter harus meletakkan stetoskop di paru-paru pasien baik depan dan belakang untuk mendengar suara asingnya. Mungkin ada sesuatu di paru-parunya sehingga membutuhkan pasien istirahat nanti," kata Beni.

"Termasuk kalau pasien mengaku anemia, lemas, dokter akan melihat tangan, bibir, matanya pucat atau tidak," tambahnya.


Pemeriksaan Lanjutan Sebelum Diagnosis

Konsultasi ke Dokter
Ilustrasi konsultasi ke dokter. (Sumber foto: Pexels.com)

Selanjutnya, yang ketiga adalah pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan cek laboratorium sesuai dengan apa yang dikeluhkan pasien saat wawancara sebelumnya.

"Jangan semua diperiksa (laboratorium). Sesuai dengan wawancara pasien. Jadi kalau dia batuk, yang perlu diperiksa mungkin darah lengkap sama sputumnya. Untuk dilihat batuknya ini virus, bakteri, atau jamur," kata Beni.

"Ya kalau misalnya pemeriksaan penunjang lain rontgen atau CT scan untuk melihat gambaran paru-parunya. Ada bercak tidak, ada tumor tidak, karena ada banyak orang yang batuk tidak sembuh, ada tumor di sana. Itu namanya pemeriksaan penunjang."

Keempat, membuat diagnosis pasien dan menentukan resep obat. Beni menegaskan, rangkaian ini merupakan proses yang harus dilakukan secara berurutan, tidak boleh diloncat.

"Setelah melewati rangkaian --- baru kemudian terbit surat keterangan sakit," pungkasnya.

Fakta Mengenai Risiko Diabetes Melitus
Infografis Journal_ Fakta Mengenai Risiko Diabetes Melitus (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya