Liputan6.com, Jakarta Titik terang dalam kasus penculikan Malika (6) telah terlihat. Malika berhasil ditemukan oleh pihak kepolisian di kawasan Ciledug, Pondok Aren, Tangerang Selatan setelah 26 hari dinyatakan hilang.
Pelaku, Iwan Sumarno (42) yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka memiliki tiga nama samaran yakni Yudi, Herman, dan Jacky. Proses penyelidikan terhadap pelaku masih terus berlangsung.
Baca Juga
Lalu, jika pelaku kejahatan seperti penculikan sudah ditetapkan sebagai tersangka dan pelaku menjalani hukuman dengan kurungan penjara, seberapa besar potensi pelaku mengulangi perbuatannya saat sudah bebas nantinya?
Advertisement
Psikolog forensik sekaligus konsultan Lentera Anak Foundation, Reza Indragiri menjelaskan bahwa jika merujuk pada data di luar negeri, ada sekitar lima persen penjahat yang kembali melakukan kejahatan usai keluar dari penjara.
"Data menunjukkan sekitar lima persen penjahat yang memangsa anak-anak kembali ditangkap (karena) mengulangi perbuatan bejatnya dalam 3 tahun setelah keluar penjara," ujar Reza melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Jumat (6/1/2023).
"Juga, hampir 15 persen kambuh dengan kejahatan disertai kekerasan dan 40 persen melakukan kejahatan jenis lain," tambahnya.
Mengutip News dan Regional Liputan6.com, pelaku penculikan Malika memang memiliki cukup banyak jejak kriminal. Iwan Sumarno pernah terlibat dalam kasus penggelapan kendaraan bermotor dan merupakan residivis kasus pencabulan anak.
Tak berhenti di sana, Iwan Sumarno juga dikenal temperamental di kalangan rekan pemulung dan banyak yang sukar berhubungan dengannya. Namun dikenal akrab di lingkungan korban penculikan.
Keterangan Berbelit, Jadi Bentuk Grooming Behavior
Dalam kesempatan berbeda, Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol Komarudin mengungkapkan bahwa motif penculikan masih sulit diketahui karena Iwan Sumarno memberikan keterangan berbelit.
"Ini (motifnya) yang masih kami dalami, dan memang keterangan pelaku masih berbelit mengaku bahwa dia hanya ingin menjaga Malika. Kemudian dia sayang dengan Malika, sehingga ingin mengajak ingin menemani nya dalam keseharian," ujar Komarudin.
Menurut Reza, keterangan berbelit hingga mengaku sayang pada korban yang diungkapkan oleh Iwan Sumarno sebenarnya merupakan bentuk grooming behavior. Cara ini ternyata kerap dijadikan modus oleh pelaku kejahatan.
"Itu bentuk grooming behavior. Modus semacam itu yang paling sering diperagakan oleh pelaku," kata Reza.
Grooming behavior sendiri mengacu pada perilaku yang dilakukan seseorang dengan memanfaatkan pesona atau memainkan emosi agar bisa meyakinkan dan membuat orang lain percaya bahwa dirinya bukanlah ancaman.
Advertisement
Bagaimana Agar Napi Tidak Jadi Residivis?
Lebih lanjut Reza mengungkapkan bahwa pelaku penculikan Malika tercatat sebagai residivis pencabulan. Hal inilah yang sebenarnya dapat dijadikan acuan untuk mendorong penegakan hukum yang lebih tegas.
"Pelaku adalah residivis pencabulan, mengingatkan kita untuk memberikan dukungan ke satu mata rantai sistem peradilan pidana yang acap luput dari perhatian publik yaitu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM," ujar Reza.
"Representasi pemerintah dalam membenahi napi (narapidana) agar tidak menjadi residivis adalah tugas Pemasyarakatan. Begitu pula risk assessment-nya," tambahnya.
Reza menambahkan, risk assessment itulah yang bisa mengukur potensi pelaku kejahatan atau napi agar tidak melakukan kejahatan kembali di masa depan.
"Kalau risk assessment menunjukkan bahwa potensi napi berbuat jahat kembali masih tetap tinggi, maka seyogianya napi tidak dilepas betapapun masa hukumannya sudah habis," kata Reza.
Hal Penting yang Perlu Dipertimbangkan
Reza mengungkapkan bahwa ada hal terpenting lain yang perlu diketahui. Hal tersebut berkaitan dengan keamanan masyarakat itu sendiri.
"Napi memang punya hak menghirup udara bebas. Tapi lebih penting lagi, masyarakat punya hak hidup tanpa perasaan cemas," tegas Reza.
Berkaitan dengan hal ini pula, Reza menyarankan Polri atau Kemenkumham agar memiliki laman tersendiri untuk menampilkan foto dan identitas pelaku kejahatan. Hal itu dianggap bisa membuat masyarakat punya kewaspadaan ekstra.
"Polri atau Kemenkumham perlu punya laman khusus yang memajang foto dan identitas pelaku. Supaya masyarakat punya kewaspadaan ekstra. Toh, ini pada dasarnya sudah ada ketentuannya dalam UU Perlindungan Anak," pungkasnya.
Advertisement