Kriminolog: 3 Anak SD Pemerkosa Siswi TK di Mojokerto Korban Kelalaian Orangtua hingga Pemerintah

Bercermin dari kasus siswi TK di Mojokerto, kenapa anak SD bisa nekat jadi pemerkosa?

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 24 Jan 2023, 21:00 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2023, 21:00 WIB
Boneka Demo Kekerasan seksual Anak
Boneka mainan diletakkan di halaman gedung Kongres Kolombia untuk memprotes kekerasan seksual terhadap anak-anak di Bogota, Selasa (20/11). Protes ini untuk mendorong pengaduan kasus pelecehan anak di hadapan pihak berwenang Kolombia (DANIEL MUNOZ/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Siswi TK di Mojokerto, Jawa Timur menjadi korban pemerkosaan tiga bocah SD umur delapan tahun. Ketiganya adalah teman sepermainan sekaligus tetangga korban.

Akibat kekerasan seksual yang dilakukan ketiga bocah itu, siswi TK Mojokerto menjadi trauma dan enggan pergi ke sekolah.

Kasus ini termasuk dalam konteks kejahatan atau kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak.

Menurut kriminolog Haniva Hasna, anak-anak yang belum mencapai umur 12 tahun tidak dapat digolongkan sebagai pelaku kejahatan seksual (sex offender), sehingga tidak bisa dikenakan sanksi pidana.

Perempuan yang juga pemerhati anak dan keluarga menjelaskan bahwa 3 anak SD yang menjadi pelaku pemerkosaan siswi TK di Mojokerto dianggap sebagai korban kelalaian orangtua, kelalaian masyarakat, kelalaian pemerintah dalam meregulasi tontonan dan penyebaran pornografi.

"Sehingga tetap harus mendapat perlindungan, pendampingan, edukasi serta terapi agar berpikiran dan berperilaku normal seperti anak seusianya," kata kriminolog yang karib disapa Iva kepada Health Liputan6.com belum lama ini.

Pendampingan bagi tiga anak SD pelaku pemerkosaan siswi TK itu perlu dilakukan lantaran jika tidak tertangani dengan baik, ada kemungkinan mereka mengulangi tindakan tersebut di kemudian hari.

"Karena anak memperoleh persepsi yang salah tentang apa yang sudah terjadi pada dirinya dan apa yang sudah dilakukan," ujarnya.

Pendampingan Psikologis

Ketiga anak itu harus segera mendapat pendampingan psikologis profesional. Waktu yang dibutuhkan tidak bisa ditentukan hingga kondisi psikis mereka semakin membaik.

Pendampingan psikologis dibutuhkan anak untuk mengembalikan mereka kepada rutinitas sebagaimana anak seusianya.

Dalam hal ini, lingkungan dapat memberikan dukungan positif dengan tidak menyalahkan, tidak mengungkit, dan tidak memberi label.

"Karena jika tidak diatasi dengan baik tentu dapat masuk ke dalam alam bawah sadar anak dan menetap hingga dewasa yang dapat berdampak pada kehidupannya yang akan datang," katanya.

Bagi Korban

Pendampingan bagi korban juga sangat penting. Ini termasuk pendampingan secara fisik, psikis dan hukum.

"Kita sama-sama ketahui bahwa korban perlu mendapat bantuan terkait dengan kondisi fisiknya yang terluka akibat kekerasan yang terjadi," ujarnya.

Hal yang perlu dilakukan adalah memberikan bantuan medis, hingga mendapatkan surat keterangan bahwa korban telah mendapat perlakuan kekerasan.

Dengan tanda-tanda yang hanya bisa dijelaskan oleh tim medis sebelum melakukan pelaporan kepada yang berwajib untuk dilakukan visum sesuai perintah.

Pertolongan pertamanya adalah merujuk korban ke tempat perlindungan anak atau badan sosial yang fokus di bidang perlindungan anak.

Badan ini biasanya dikelola oleh pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mendapat bantuan dan perlindungan kepada korban.

"Jangan sembarang interview, anak yang terindikasi menjadi korban kekerasan seksual hanya boleh di-interview oleh petugas yang sudah terlatih secara khusus," katanya.

Perlakukan dengan Baik

Korban atau anak yang terindikasi mengalami kekerasan seksual perlu diperlakukan dengan baik.

Tidak boleh melakukan hal-hal yang membahayakan sang anak, baik secara fisik maupun psikologis seperti berteriak, memaksa untuk bercerita atau berbicara, berkata kasar atau menyakiti mereka.

"Utamakan kenyamanan, buat kondisi di mana anak merasa nyaman dan percaya diri untuk menceritakan kisah mereka," ujar Iva.

Anak harus diberikan pengertian bahwa dia sedang dibantu dan dilindungi. Sebaiknya pewawancara juga menunjukkan ketertarikan dalam mendengarkan kisah mereka dan menggunakan teknik-teknik tertentu yang membuat anak tidak merasa diintimidasi.

Tidak melakukan penahanan tetapi harus ditempatkan di tempat yang aman. Setiap korban perlu mendapat persamaan perlakuan, tanpa melihat kelas sosial, jenis kelamin, disabilitas, bahasa, agama, ras, etnis dan kewarganegaraan.

"Semua anak yang terindikasi mendapat kekerasan harus menerima pertolongan, perlindungan, dan dukungan yang sesuai dengan umur mereka," pungkas Iva.

 

Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya