Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan catatan dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, setidaknya ada 2,6 persen populasi di Indonesia yang berusia di atas 5 tahun mengalami gangguan pendengaran.
Bertepatan dengan Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran Sedunia yang jatuh setiap tanggal 3 Maret, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan Bedah Kepala dan Leher (PERHATI-KL), dr Yussy Afriani Dewi mengingatkan kembali bahwa gangguan pendengaran sebenarnya bisa dicegah.
Baca Juga
Yussy menjelaskan, setidaknya ada 60 persen kasus gangguan pendengaran disebabkan oleh sesuatu yang bisa dicegah. Pencegahan itu dapat dilakukan lewat deteksi dini yang perlu disesuaikan dengan kelompok usia.
Advertisement
"Pencegahan dilakukan dengan identifikasi sedini mungkin pada berbagai kelompok usia,” ujar Yussy saat konferensi pers Hari Pendengaran Sedunia mengutip keterangan dalam laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Rabu, (3/3/2023).
Deteksi dini pendengaran pertama kali perlu dilakukan pada bayi yang baru lahir dan balita. Skrining selanjutnya dapat dilakukan pada anak dan pra usia sekolah. Terutama bagi individu yang terpapar bising atau zat kimia secara terus-menerus.
Serta, skrining menjadi penting dilakukan untuk para individu yang terpapar dengan obat ototoksik karena beberapa obat memang dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Begitu pula pada individu yang masuk kategori usia tua.
Yussy menambahkan, upaya menjaga kesehatan pendengaran tersebut turut bisa dilakukan dengan berbagai macam hal. Termasuk menghindari kebisingan, pola hidup bersih dan sehat yang baik, memperhatikan kebersihan liang telinga, dan tidak minum obat ototoksik dalam jangka panjang tanpa konsultasi dengan dokter.
Hindari Membersihkan Telinga Sendiri
Penyebab utama gangguan pendengaran sendiri akan berbeda pada masing-masing orang. Namun, umumnya yang terjadi adalah tuli kongenital, infeksi telinga atau congek, tuli akibat bising, faktor usia, dan faktor kotoran telinga.
Yussy mengungkapkan bahwa sebaiknya masyarakat juga menghindari aktivitas membersihkan telinga sendiri. Hal tersebut dianggap dapat memicu terjadinya gangguan pendengaran.
"Hindari membersihkan telinga sendiri, hindari mengorek-korek telinga, hindari penggunaan earphone dengan volume keras dalam waktu lama," kata Yussy.
Saat ini, pemerintah menargetkan layanan kesehatan telinga dan pendengaran di 2030 dengan 20 persen peningkatan layanan skrining pada bayi baru lahir, dan 20 persen untuk peningkatan layanan masyarakat dewasa dengan gangguan dengar yang menggunakan alat bantu dengar dan implan.
Serta, menurunkan 20 persen angka infeksi telinga kronis dan gangguan dengar pada anak sekolah usia 5 sampai 9 tahun.
Advertisement
Hindari Lingkungan Kerja yang Bising
Dalam kesempatan yang sama, Perwakilan dari Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki), dr F Handoyo, MPH SpOK mengungkapkan bahwa gangguan pendengaran bisa disebabkan oleh lingkungan kerja yang bising.
Handoyo menjelaskan, kebisingan di tempat kerja dapat menyebabkan gangguan kesehatan bila kebisingan melampaui 85 desibel selama delapan jam terus-menerus setiap harinya.
Kebisingan tersebut dapat berasal dari mesin, peralatan kendaraan, dan proses industri.
“Gangguan pendengaran akibat bising yaitu ketulian bersifat sementara atau permanen. Jadi tidak langsung tuli tetapi bertahap, pelan-pelan pendengarannya menurun dan bisa pulih lagi. Namun jika tidak diatasi segera dapat mengakibatkan ketulian permanen,” kata Handoyo.
Pencegahan Primer dan Sekunder
Handoyo mengungkapkan bahwa pencegahan gangguan pendengaran di tempat kerja tersebut dapat dilakukan secara primer maupun sekunder.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan termasuk kesehatan pendengaran calon karyawan. Sedangkan, pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan tahunan.
Advertisement