Liputan6.com, Jakarta Dokter spesialis anak konsultan hematologi onkologi, Novie Amelia Chozie menuturkan, pasien hemofilia bisa hidup normal tanpa takut terus menerus mengalami pendarahan spontan. Hal ini dapat terwujud dengan penanganan terapi profilaksis untuk menangani penderita hemofilia.
Harapan pasien hemofilia hidup normal sejalan dengan tema Hari Hemofilia Sedunia tahun 2023, Access for All: Prevention of bleeds as the global standard of care (Akses untuk Semua: Pencegahan pendarahan sebagai standar global perawatan).
Baca Juga
Bahwa semua pihak dihimbau untuk memberikan dukungan, edukasi dan solusi inovatif untuk meningkatkan taraf hidup penderita hemofilia.
Advertisement
"Mencegah pendarahan merupakan aspek penting dari penanganan karena membantu meminimalkan risiko episode perdarahan yang berpotensi mengancam jiwa dan menyebabkan komplikasi kerusakan sendi yang dapat menyebabkan cacat permanen," tutur Novie melalui pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 17 April 2023.
"Pedoman dari World Health Organization (WHO) dan World Haemophilia Foundation (WFH) merekomendasikan, terapi profilaksis reguler dengan penggantian faktor pembekuan."
Kurangi Kebutuhan Perawatan yang Mahal
Terapi profilaksis reguler memungkinkan penderita hemofilia untuk menjalani hidup normal tanpa rasa ketakutan terus menerus akan mengalami pendarahan spontan. Pendekatan ini juga mengurangi kebutuhan akan perawatan yang mahal dan invasif seperti operasi sendi, rawat inap, dan transfusi darah.
Hemofilia sendiri adalah kelainan perdarahan langka yang bersifat genetik, yang ditandai dengan kekurangan faktor pembekuan dalam darah, sehingga mengakibatkan pendarahan yang sebagian besar terjadi di sendi dan otot.
Seperti diketahui, setiap tanggal 17 April diperingati sebagai Hari Hemofilia Sedunia. Peringatan ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan penyakit kelainan langka pada darah ini.
Terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan, penanganan dan pengobatan hemofilia masih menghadapi berbagai tantangan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Terapi untuk Tingkatkan Kualitas Hidup
Terapi profilaksis reguler untuk penderita hemofilia juga dapat meningkatkan kualitas hidup, mobilitas, dan perawatan sendi secara keseluruhan.
"Selain itu, mencegah perdarahan dapat mengurangi beban ekonomi pada sistem perawatan kesehatan dan keluarga, menjadikannya aspek penting dari perawatan hemofilia yang komprehensif," Novie Amelia Chozie melanjutkan.
Minimalkan Risiko Perdarahan
Kembali ditegaskan Novie, untuk mencegah pendarahan di pasien hemofilia sangat penting untuk menjalankan terapi profilaksis, yaitu pemberian faktor pembekuan secara rutin walaupun tidak ada perdarahan.
"Tujuannya, untuk meminimalkan risiko perdarahan pada pasien hemofilia. Jika terjadi perdarahan akut, faktor pembekuan harus diberikan dalam waktu 2 jam untuk mencegah perburukan dan komplikasi, serta meminimalkan perawatan intensif," terangnya.
"Dalam kasus perdarahan yang mengancam jiwa, terutama di area kritis seperti kepala, leher, dada, dan saluran pencernaan, pengobatan harus segera dimulai, bahkan sebelum penilaian diagnostik selesai."
Advertisement
Hemofilia Masih Jarang dapat Perhatian
Novie Amelia Chozie juga menyebut, pendidikan dan pemberdayaan individu dengan hemofilia, keluarga mereka, dan penyedia layanan kesehatan tentang manajemen perdarahan akut sangat penting untuk intervensi tepat waktu dan mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Di Indonesia, hemofilia masih jarang mendapatkan perhatian. Walaupun studi pada 2021 menemukan bahwa jumlah pasien hemofilia di Indonesia seharusnya telah mencapai 27.636 kasus, tetapi hanya 2.425 pasien atau kurang dari 10 persen yang terdiagnosa sebagai hemofilia A dan mendapatkan perawatan.
Data BPJS Kesehatan 2020 menunjukkan bahwa hemofilia menduduki peringkat keenam penyakit yang paling banyak memakan anggaran Dana Jaminan Sosial (DJS).
Tantangan Perawatan Hemofilia
Menurut Novie, ada empat tantangan utama yang dihadapi dalam penyediaan perawatan hemofilia di Indonesia.
"Satu, kurangnya kesadaran masyarakat mengenai hemofilia. Kedua, kurangnya fasilitas laboratorium untuk uji inhibitor faktor," ucapnya.
"Ketiga, kurangnya ahli hemofilia dan tim komprehensif multidisiplin. Keempat, keterbatasan pembiayaan BPJS untuk tata laksana."