Status Pandemi COVID-19 Dicabut, IDI: Masker Masih Perlu Terutama Jika Sakit

Ketua Satgas COVID-19 PB IDI, Dr dr Erlina Burhan, MSc, SpP(K) mengungkapkan bahwa masyarakat harus menyadari jikalau endemi tidak menandakan virus Corona hilang dari muka bumi.

oleh Diviya Agatha diperbarui 23 Jun 2023, 07:00 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2023, 07:00 WIB
Ketua Satgas COVID-19 PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan
Ketua Satgas COVID-19 PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan menganjurkan soal penggunaan masker yang masih diperlukan, terutama jika sedang mengalami gejala mirip COVID-19 seperti batuk, pilek, dan demam. (Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin)

Liputan6.com, Jakarta Menyusul pencabutan status pandemi COVID-19 oleh pemerintah, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memberikan rekomendasi khusus termasuk dalam hal penggunaan masker.

Ketua Satuan Tugas COVID-19 Pengurus Besar (PB) IDI, Dr dr Erlina Burhan, MSc, SpP(K) mengungkapkan bahwa masyarakat harus menyadari jikalau dicabutnya status pandemi dan masuknya RI ke endemi tidak menandakan virus Corona hilang dari muka bumi.

"Kita harus menyadari bahwa endemi itu bukan berarti penyakitnya tidak ada, lenyap, atau musnah. Endemi itu artinya penyakitnya tetap ada, tetapi terkendali," ujar Erlina saat media briefing bersama IDI pada Kamis, (22/6/2023).

Gejala Mirip COVID-19? Pakai Masker

Oleh sebab itu, Erlina menegaskan masih pentingnya penggunaan masker terutama jika Anda merasakan gejala yang mirip COVID-19.

"PB IDI mengimbau agar masyarakat menggunakan masker apabila memiliki keluhan yang mirip dengan COVID-19. Seperti batuk, pilek, demam dan lain-lain," kata Erlina.

"Karena kita tetap harus berpikir dengan gejala-gejala seperti COVID-19 itu jangan-jangan positif. Sehingga berisiko menularkan pada orang lain. Jadi tetaplah pakai masker bila Anda memiliki keluhan," tegasnya.

Erlina menambahkan, PB IDI turut mengimbau bagi siapapun yang masuk kategori berisiko tinggi terhadap COVID-19 untuk tetap menggunakan masker.

"(Kelompok berisiko tinggi) seperti lansia, penderita penyakit kronis atau komorbid, atau orang-orang dengan imunitas rendah kalau pergi di keramaian, yuk pakai masker supaya jangan tertular," ujar Erlina.

Peduli Risiko Penularan

Status Pandemi COVID-19 Dicabut
Memasuki masa endemi ini, IDI mengimbau agar masyarakat tidak abai pada risiko penularan COVID-19. (Foto: Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Erlina mengungkapkan hal-hal lain yang perlu diingat masyarakat sebagai rekomendasi dari PB IDI. Selain soal penggunaan masker, ada pula rekomendasi untuk tidak mengabaikan risiko penularan.

"Tidak mengabaikan risiko penularan, karena itu tadi, endemi bukan berarti penyakitnya tidak ada. Kita tahu semua ini penyakit menular. Oleh sebab itu, tetap jangan mengabaikan risiko penularan di tengah euforia pergantian status pandemi menjadi endemi," ujar Erlina.

Selanjutnya, tetap menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

"Kita semua tahu selama tiga tahun ini sudah tertanam perilaku hidup bersih di kalangan masyarakat. Seperti mencuci tangan, mengonsumsi makanan dan minuman sehat, berolahraga, berhenti merokok, serta menjaga kebersihan dari lingkungan sekitar," kata Erlina.

"Jadi tolong masyarakat tetap melaksanakan, meneruskan apa yang kita jalani selama ini. Seperti PHBS itu."

Virus COVID-19 Masih Ada dan Menularkan

Pemerintah Pertimbangkan Status Pandemi Menjadi Endemi
Indonesia beralih ke masih endemi. Namun, penting untuk mengingat jikalau virus COVID-19 masih ada dan tetap bisa menular. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut Erlina mengungkapkan bahwa endemi terjadi saat suatu penyakit masih terjangkit pada suatu lokasi dengan kondisi yang terkendali. Itulah mengapa meskipun endemi, virus Corona masih tetap ada.

"Di Indonesia penyakit endemi itu apa? Contohnya demam berdarah, dia masuk kategori endemi, masih terkendali. Kemudian juga malaria," kata Erlina.

Erlina pun menjelaskan apa-apa saja perbedaannya antara pandemi, endemi, dan epidemi. Menurutnya, kondisi tidak akan disebut sebagai pandemi jika suatu hari Indonesia mengalami kenaikan kasus COVID-19. Melainkan hanya akan disebut sebagai epidemi.

"Kalau kemudian peningkatannya terjadi tiba-tiba, sangat melonjak (kasusnya) di suatu wilayah, itu naik ke epidemi. Nah, kalau penularan ini terus terjadi bahkan terjadi di banyak negara dan mungkin di lima benua, inilah yang disebut dengan pandemi," ujar Erlina.

Lebih Baik Mencegah daripada Mengobati

Pegawai Pulang Kerja Berjalan di Trotoar Jalan Sudirman, Jakarta
Ketua Satgas COVID-19 PB IDI, Dr dr Erlina Burhan, SpP(K) menyebut jikalau lebih baik mencegah daripada mengobati COVID-19, meski sudah masuk masa endemi. (Foto: Liputan6.com/Johan Tallo)

Erlina mengingatkan lagi soal PHBS, termasuk untuk mencegah COVID-19. Sebab, mencegah memang masih lebih baik daripada harus mengobati.

"Saya tidak bosan-bosannya menyampaikan bahwa pencegahan itu lebih baik daripada mengobati, dan untuk COVID-19 situasinya endemi ini, kebiasaan lama kita untuk PHBS itu agar tetap dipertahankan," pungkasnya.

Infografis 7 Momen Kamu Harus Pakai Masker
Infografis 7 Momen Kamu Harus Pakai Masker (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya