Liputan6.com, Jakarta Tak ada yang menjanjikan jikalau virus Corona atau SARS-CoV-2 akan berhenti bermutasi menghasilkan varian baru. Itulah yang kini terjadi di Eropa melalui temuan COVID-19 varian baru EU.1.1.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat melacak adanya varian baru COVID-19 bernama EU.1.1 yang merupakan turunan lebih kompleks dari Omicron.
Baca Juga
Lantas, apa yang perlu diketahui dari varian Omicron baru EU.1.1?
Advertisement
EU.1.1 atau XBB.1.5.26.1.1 adalah bagian dari keluarga Omicron XBB.1.5. Saat ini, Eropa tengah mengalami lonjakan kasus yang cepat akibat varian tersebut.
CDC memperkirakan setidaknya ada 1,7 persen kasus COVID-19 di Amerika Serikat secara nasional yang disebabkan oleh varian EU.1.1, seperti dikutip melalui laman CBS News.
Peneliti sekaligus epidemiolog Global Health Security Policy Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa Omicron XBB memang jadi varian yang masih mendominasi di dunia.
"EU.1.1 ini turunan atau asal muasalnya dari XBB.1.5 yang kita tahu sekarang mendominasi di dunia, dengan kemampuan untuk menginfeksi yang jauh lebih kuat. Paling kuat bahkan menembus pertahanan tubuh atau imunitas," ujar Dicky pada Health Liputan6.com, Senin (3/7/2023).
Belum Ada Potensi Perburukan
Menurut Dicky, munculnya varian baru seperti EU.1.1 dan terjadinya peningkatan kasus yang terdeteksi di negara-negara maju belum menunjukkan adanya risiko perburukan untuk situasi terkait COVID-19.
"Secara umum, sebetulnya saya saat ini belum melihat ada potensi perburukan situasi global atau nasional. Meskipun, kasus infeksi meningkat terutama di negara dengan kemampuan deteksi dini genome sequencing yang masih dijaga seperti di negara maju," kata Dicky.
EU.1.1 Masih Terlalu Awal untuk Disimpulkan, Tapi...
Lebih lanjut Dicky mengungkapkan jika dilihat dari perkembangan kasus secara global, EU.1.1 masih terlalu awal untuk dianggap sebagai sesuatu yang bisa menjadi ancaman.
"Masih terlalu awal kalau (EU.1.1) kita anggap sebagai sesuatu yang bisa menjadi ancaman. Tapi, prinsipnya adalah sekali lagi, semakin kita membiarkan virus ini menginfeksi ulang banyak orang, artinya kita mengundang masalah," ujar Dicky.
"Mengundang adanya atau lahirnya subvarian atau varian yang bisa benar-benar meniadakan efektivitas dari vaksin. Ini yang bahaya karena artinya bisa terjadi lonjakan kasus dengan keparahan dan kematian. Tentu itu masih teoritis tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi," sambungnya.
Advertisement
Mutasi Virus Corona yang Tetap Terus Terjadi
Menurut Dicky, perkembangan atau mutasi virus Corona masih akan terus bermutasi. Apalagi jika manusia membiarkan virus untuk terus-menerus menginfeksi dan kasus baru bermunculan.
"Virus ini masih terus mutasi, tapi sejauh ini kalau bicara EU.1.1 kita belum melihat lampu merah atau sinyal serius. Hanya yang mesti diketahui, setiap turunan sekarang kecenderungannya semakin mengurangi efektivitas vaksin dan obat," ujar Dicky.
"Itu sebabnya booster menjadi penting terutama pada kelompok rawan yang khususnya setelah sudah enam bulan lalu mendapatkan vaksinnya."
Vaksin COVID-19 Perlu Direvisi Tiap Tahun
Dalam kesempatan yang sama, Dicky turut mengungkapkan bahwasanya dari hasil pemantauan, COVID-19 memiliki karakter yang mirip dengan flu.
Artinya, vaksin COVID-19 penting untuk direvisi setiap tahunnya agar bisa tetap efektif menghadang varian-varian baru yang juga sulit dikontrol mutasinya.
"Bukan (COVID-19) sama dengan flu, tapi ada hal yang sama dengan flu. Apa itu? Dalam konteks vaksin, vaksin tampak kecenderungannya harus terus direvisi per tahun, dan itu diberikan rekomendasinya untuk kelompok berisiko tinggi," pungkas Dicky.
Advertisement