Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana mencabut kebijakan vaksin COVID-19 gratis pada 31 Desember 2023. Dengan begitu, pada 2024 vaksin COVID-19 akan mulai berbayar.
Hal ini mendapat respons dari berbagai pihak, salah satunya dari Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Hasbullah Thabrany.
Baca Juga
Menurutnya, COVID-19 ketika sudah tidak menjadi wabah maka bukan lagi jadi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Advertisement
“Jadi gimana? Ya buat masyarakat yang sudah jadi peserta JKN semua klaim akan masuk ke JKN,” kata Hasbullah kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Rabu 26 Juli 2023.
Di sisi lain, herd immunity atau imunitas masyarakat juga sudah tercapai, baik karena vaksinasi maupun karena hampir semua orang sudah pernah terpapar virusnya.
“Jadi tidak masalah, tapi kalau ada masyarakat yang mau vaksin mandiri itu juga boleh, intinya COVID tidak lagi menjadi ancaman,” tambah Hasbullah.
Kemandirian Vaksin di Dalam Negeri Adalah Kunci
Sementara, pakar kebijakan kesehatan, Hermawan Saputra menyampaikan, vaksinasi tetap dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan COVID di masa mendatang. Termasuk setelah dicabutnya status pandemi dan kedaruratan kesehatan.
“Dan kemandirian vaksin di dalam negeri itu adalah kuncinya,” kata Hermawan kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara.
Vaksin Harus Tetap Aksesibel
Hermawan menambahkan, walau pemerintah menghentikan vaksin gratis, tapi vaksin harus tetap mudah diakses dan terjangkau untuk semua orang.
“Vaksin gratis itu kan terminologi dalam keadaan darurat saja, tapi kalau kita mandiri secara vaksin dan kalau nanti kita dapatkan vaksin permanen, itu seharusnya bisa dijangkau dan bisa gratis.”
“Nah, kalau vaksin berbayar, jangankan berbayar, gratis saja orang itu belum tentu mau divaksin untuk COVID, karena merasa sudah melewati tiga tahun dengan dinamika COVID dan sudah terjadi herd immunity,” jelas Hermawan.
Advertisement
Harusnya Tetap Dipertahankan Gratis untuk Semua
Lebih lanjut, Hermawan menyampaikan bahwa sero survei dilakukan kembali dan hasilnya keluar pada pertengahan atau akhir tahun ini.
“Apakah imunitas kadar antibodi melawan COVID itu masih tinggi? Nah kita akan lihat masyarakat akan melihat vaksin itu sebagai kebutuhan tersier.”
“Dan oleh karenanya sulit kalau dia (vaksin) berbayar. Harusnya tetap dipertahankan gratis untuk semua. Kita juga harus melihat dinamika COVID ini akankah ada varian baru dari virus penyebab, dan akankah ada lonjakan kasus baru lagi,” ucap Hermawan.
Jika tidak, lanjutnya, maka persoalan vaksinasi perlu dievaluasi lagi. Yang pasti, vaksin harus terjangkau untuk semua orang. Soal berbayar atau tidak, ini adalah soal lain.
“Tapi rasanya, kalau gratis saja orang susah untuk bersedia divaksinasi apalagi kalau itu berbayar.”
Menurut Epidemiolog Windhu Purnomo
Sebelumnya, epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo juga sempat memberi tanggapan. Menurutnya, pemerintah memiliki kewajiban dalam melindungi masyarakatnya dari berbagai macam penyakit, salah satunya dengan pemberian vaksin.
“Tapi kita tahu bahwa tidak semua penyakit selalu memiliki risiko tinggi untuk menghasilkan hospitalitas tidak semuanya juga menyebabkan mortalitas atau kematian,” kata Windhu kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (25/7/2023).
Untuk COVID-19, di saat tertentu virusnya sangat mudah menular dan patogenitasnya sangat tinggi sehingga yang terkena bisa mengalami gejala parah. Ini tergantung pada varian dan daya tularnya. Namun, di saat yang lain varian virus penyebab COVID-19 tidak selalu sama karena mengalami mutasi-mutasi. Dengan kata lain, varian tertentu dari virus ini tidak semuanya ganas.
“Contoh, di 2021 muncul varian Delta yang sangat luar biasa menghasilkan angka hospitalitas dan kematian tinggi. Namun, di varian Omicron virulensinya menurun sampai sekarang. Bahkan sekarang sudah masuk fase endemi.”
Ketika penyakit sangat berbahaya hingga situasi darurat, maka segalanya perlu ditangani pemerintah. Namun, setelah mencapai situasi seperti sekarang, di mana tingkat penularan sudah sangat rendah maka tanggung jawabnya tidak lagi hanya di pemerintah.
“Sudah tidak semuanya harus ditangani dan dibiayai oleh pemerintah, bisa dilakukan secara mandiri, maupun dialihkan ke asuransi termasuk asuransi kesehatan sosial yaitu BPJS,” kata Windhu.
Advertisement