Liputan6.com, Jakarta Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan tetap akan ditanggung oleh Pemerintah, walau besaran anggaran wajib atau mandatory spending dihapus dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril pun menegaskan, tidak ada kaitannya penghapusan mandatory spending dengan pembiayaan BPJS Kesehatan.
Baca Juga
Mekanisme pembiayaan BPJS Kesehatan menggunakan sistem asuransi sosial, yang mana uang yang dikelola merupakan iuran dari para peserta JKN. Sementara yang tidak mampu, dibayari oleh Pemerintah
Advertisement
"Jadi, mandatory spending itu tidak ada kaitannya dengan BPJS, mekanisme BPJS ya seperti biasa. Masyarakat yang memang tidak mampu dan dikategorikan PBI itu ya tetep dibiayai Pemerintah," tegas Syahril kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Kamis, 10 Agustus 2023.
Masyarakat Mampu, Bayar Sesuai Kelasnya
Kemudian bagi peserta JKN yang mampu, iuran dapat dibayarkan sesuai kelasnya. Ada juga kewajiban perusahaan atau institusi/lembaga membayarkan iuran 4 persen kepada pekerjanya.
"Nah, kalau di perusahaan itu kan ada kewajiban pekerja dan kewajiban pemberi kerja ya, 1 persen dan 4 persen (bayar iuran BPJS). Lalu, kalau dia orang umum yang punya kemampuan, dia harus bayar sesuai kelasnya. Jadi itu tidak berubah sama sekali," jelas Syahril.
Tidak Ada Pengurangan Anggaran
Dengan demikian, hilangnya mandatory spending dalam UU Kesehatan terbaru, lanjut Mohammad Syahril, tidak mengurangi anggaran yang dikucurkan untuk kesehatan, khususnya pembiayaan kelompok PBI BPJS Kesehatan.
"Tidak ada pengurangan jumlah maupun anggarannya untuk masalah kesehatan masyarakat dalam jaminan kesehatan. Jadi, jangan dikaitkan dengan mandatory spending," katanya.
Dibuat Rencana Induk bidang Kesehatan
Syahril menerangkan, penghapusan mandatory spending dilakukan lantaran program yang nantinya diterapkan itu berbasis kinerja.
"Mandatory spending yang dihapuskan karena kita saat ini berbasis kinerja y. Jadi program kerja dalam 6 pilar transformasi dibuat rencana induk bidang kesehatan seperti GBHN, Garis-garis Besar Haluan Negara ya," terangnya.
"Nah, itu tidak lagi berdasarkan jumlah anggaran. Contoh, anggaran Rp10 miliar untuk stunting, nanti kita ramai-ramai buat program berdasarkan itu."
Advertisement
Anggapan Tak Ada Kewajiban Pemerintah Bantu RS dan Klinik
Penjelasan Mohammad Syahril di atas soal tidak ada kaitannya mandatory spending dengan pembiayaan BPJS Kesehatan sekaligus merespons opini dari Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp.BS(K).
Dokter ilmu bedah syaraf itu memberikan catatan terhadap masalah mandatory spending yang dihapuskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
Menurut Ridha, UU kesehatan yang baru akan membuat institusi pelayanan kesehatan membiayai diri sendiri.
"Jadi, nanti enggak ada lagi kewajiban Pemerintah untuk membantu institusi pelayanan kesehatan atau rumah sakit atau klinik-klinik pemerintah," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (9/8/2023).
"Akhirnya, institusi tadi harus bisa membiayai dirinya sendiri. Padahal, pelayanan kesehatan itu adalah kewajiban pemerintah."
Informasi Tak Benar dan Menyesatkan
Kembali disampaikan oleh Mohammad Syahril, informasi yang beredar soal mandatory spending akan menghapus pembiayaan BPJS Kesehatan dinilai menyesatkan.
"Terkait upaya pendanaan kesehatan perseorangan dalam program jaminan kesehatan yang dikelola BPJS, tidak terkait dengan mandatory spending dalam UU kesehatan," ujarnya kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Rabu, 9 Agustus 2023 malam.
"Tidak ada perubahan pengaturan terkait BPJS Kesehatan. Sehingga informasi tersebut tidak benar dan menyesatkan."
Advertisement