Balita Stunting Sering Dimulai dari Weight Faltering, Ini yang Perlu Diwaspadai

Agar Anak Tak Stunting, Perhatikan Ini Saat Memberikan MPASI

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 13 Jan 2024, 11:42 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2023, 07:00 WIB
Ini Penyebab Stunting yang Sering Ditemukan
Ini Penyebab Stunting yang Sering Ditemukan

Liputan6.com, Jakarta - Prevalensi stunting di Indonesia menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 berada di angka 21,6 persen.

Meski mengalami penurunan dari 24,4 persen pada 2021, tapi masih belum memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tidak lebih dari 20 persen.

Pemerintah telah menargetkan penurunan stunting di Indonesia hingga ke angka 14 persen pada 2024.

Dalam upaya membantu pemerintah mencapai target penanggulangan stunting, dr Nur Aisiyah Widjaja SpA(K) kembali mengingatkan pentingnya memerhatikan asupan gizi anak di masa pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI).

"Sebab, penyebab stunting yang sering ditemukan adalah pemberian MPASI yang tidak adekuat," katanya dalam sebuah webinar belum lama ini.

Lebih lanjut Nur mengungkap bahwa 60 persen stunting terjadi antara lahir sampai umur dua tahun. Lalu sebanyak 28 persen terjadi di antara umu 2 hingga 5 tahun.

Nur, mengatakan, setelah anak berumur enam bulan, konsumsi ASI eksklusif saja tidak lagi mampu mencukup kebutuhan gizi si Kecil. Hal ini disebabkan kandungan zat gizi makro terutama protein, lemak, dan karbohidrat pada ASI mengalami penurunan.

"Ketika anak berumur 6 hingga 8 bulan, kandungan gizi ASI berkurang 30 persen. Lalu pada umur 9 s.d 11 bulan berkurang lagi hingga 50 persen. Selanjutnya terus berkurang hingga 70 persen," kata Nur.

"Kandungan zat gizi mikro seperti zat besi dan zink di dalam ASI juga mengalami penurunan hingga 95 s.d 97 persen setelah anak berumur enam bulan," Nur menambahkan.

 

 

 

Awal Mula Anak Bisa Stunting

Lebih lanjut Nur memaparkan temuan bukti data bahwa balita weight faltering yang tidak segera diintervensi menyebabkan penurunan status gizi akut (BB kurang atau sangat kurang) dan kronis (stunting).

"Bukti menunjukkan balita stunting diawali dengan weight faltering di usia < 1 tahun dan kondisi kekurangan gizi menahun (kronis)," kata Nur.

Guna meningkatkan kualitas MPASI, lanjut Nur, langkah penting yang bisa dilakukan dengan meningkatkan konsumsi protein hewani.

Menurut Nur, dibanding protein nabati, konsumsi protein hewani seperti telur, daging sapi, daging ayam, ikan, hingga susu mengandung lebih banyak lemak sekitar 30 hingga 40 persen, vitamin B12, vitamin D, DHA, zat besi, dan zinc yang diperlukan anak untuk mendukung pertumbuhan anak.

"Konsumsi protein hewani penting untuk pertumbuhan anak. Sebabnya, di dalam tubuh kita ada sensor pertumbuhan yang bernama mTOR (mammalian target of rapamycin). Sensor ini akan menyala apabila kadar asam amino esensial di dalam darah cukup tinggi," kata Nur.

"Ketika sensornya sudah menyala, tubuh akan mampu melakukan proses sintesa protein dan sintesa lemak secara baik sehingga pertumbuhan anak berlangsung normal. Jenis asam amino esensial yang diperlukan untuk menyalakan sensor ini hanya bisa diperoleh dari konsumsi protein hewani," Nur menekankan.

 

Konsumsi Protein Hewani di Indonesia Masih Rendah

Sayangnya, kata Nur, konsumsi protein hewani di Indonesia masih sangat rendah hingga saat ini, yaitu hanya 9,58 gram untuk kelompok ikan, udang, cumi, kerang; 4,79 gram untuk kelompok daging; dan 3,37 gram untuk kelompok telur atau susu.

"Agar bisa memenuhi target pertumbuhan normal, porsi konsumsi protein hewani perlu diberikan secara tepat sesuai dengan usia dan kondisi anak. Misal, pada anak sehat berumur 6 hingga 11 bulan yang rata-rata memerlukan kenaikan berat badan antara 200 s.d 400 gram per bulan, kebutuhan protein hewani hariannya adalah sekitar 15 gram yang bisa diperoleh dari konsumsi 1 butir telur (6 gram) dan 1 ekor ikan lele (11 gram)," katanya.

"Begitu pula pada anak umur 1 hingga 2 tahun membutuhkan 20 gram protein, dan umur 3 hingga 5 tahun butuh 25 gram protein, sehingga juga dibutuhkan konsumsi protein hewani yang cukup," kata Nur. 

Dalam rangka mengejar terget penurunan stunting hingga 14 persen, dalam tata laksana stunting penting untuk memperhatikan Protein Energy Ratio (PER).

Panduan ini dapat digunakan untuk optimalisasi kekurangan energi dan protein pada kondisi undernutrisi sehingga terpenuhi sebagai terapi nutrisi untuk tumbuh kejar (catch up growth) dan bisa ditoleransi dengan baik.

"Dengan berpedoman pada PER, dapat diketahui untuk menaikkan berat badan dengan cepat yaitu antara 10-20g/kgBB/hari diperlukan asupan makanan dengan rasio protein energi sebesar 8,9-11,5 persen," kata Nur.

"Sedangkan untuk penambahan berat badan yang lebih besar, bisa diberikan makanan dengan PER 10-15 persen," Nur menambahkan.

 

Terkadang Butuh Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus

Sementara menaikkan berat badan 10 hingga 20g/kgBB/hari diperlukan PER 8,9-11,5 persen yang dapat dipenuhi dari PKMK (ONS) jika direkomendasikan oleh Dokter.

Sedangkan untuk melengkapi kebutuhan PER harian 10-15 persen, kata Nur, tetap harus dikombinasikan dengan protein hewani dalam makanan padat seperti telur, daging, ayam, dan ikan.

Sementara pada anak yang mengalami kekurangan nutrisi kronis seperti stunting, Nur mengatakan harus dilakukan deteksi penyakit penyerta (red flag) dan pemberian makanan padat dengan protein hewani yang perlu disertai dengan Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK), yaitu susu dengan kandungan kalori tinggi.

"Pemberian PKMK sifatnya individual, yang membutuhkan penilaian dan pemantauan Dokter karena harus disesuaikan dengan kondisi status gizi anak," kata dr. Nuril.

Pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK) adalah pangan olahan yang diproses atau diformulasi secara khusus untuk manajemen medis yang dapat sekaligus sebagai manajemen diet bagi anak dengan penyakit tertentu. Pada tatalaksana stunting, PKMK diberikan atas rekomendasi dokter spesialis anak.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya