Liputan6.com, Gaza Di unit gawat darurat Al-Shifa, para dokter merawat anak-anak Gaza, Palestina korban serangan bom dan rudal Israel.
Sebagian besar tubuh dan wajah anak-anak tersebut terbakar, kehilangan anggota tubuh, dan kondisi lainnya adalah menderita luka parah.
Baca Juga
Dr. Tanya Haj-Hassan, seorang dokter perawatan intensif pediatrik dan dokter kemanusiaan dari Doctors Without Borders, yang juga dikenal dengan nama Médecins Sans Frontières menuturkan penanganan korban anak di Gaza dengan segala keterbatasan obat-obatan.
Advertisement
"Para dokter hanya dapat merawat mereka dengan obat rasa nyeri yang terbatas, karena kami kehabisan obat bius," tutur Haj-Hassan, dikutip dari CNN Internasional, Senin (6/11/2023). "Kami tidak punya cukup antibiotik untuk mengobati infeksi luka, kami tidak punya cukup perban."
Beberapa Rumah Sakit Tutup Total
Petugas medis Al-Shifa, Alaa Shitali mengatakan, dirinya belum bertemu keluarganya selama berhari-hari, dan harus menghabiskan malam-malamnya di rumah sakit untuk merawat kerumunan besar pasien yang terus berdatangan.
"Kami sudah overload (kelebihan pasien). Anda tidak bisa, sebagai manusia dan petugas medis, menanggung situasi ini," tuturnya sambil berdiri di unit gawat darurat, dikelilingi oleh pasien.
Beberapa rumah sakit lain yang tersisa di Gaza juga mengalami kesulitan, dengan beberapa diantaranya tutup total.
Rumah sakit kanker terkemuka di Gaza, Rumah Sakit Turkish-Palestinian Friendship telah berhenti beroperasi akibat pemboman Israel dan kekurangan bahan bakar. Menurut data Kementerian Kesehatan Palestina pada Rabu (1/11/2023), ada 16 dari 35 rumah sakit di Gaza yang sekarang ditutup.
Lemari Pendingin Kamar Mayat Berhenti Beroperasi
Di Rumah Sakit Indonesia di Gaza, tulang punggung layanan medis di bagian utara, generator utama kehabisan daya pada hari Rabu lalu, yang membuat fasilitas seluas 16.000 meter persegi itu hanya beroperasi dengan generator sekunder di beberapa bagian rumah sakit.
Direktur fasilitas Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Dr. Atef Al Kahlout mengatakan, sistem-sistem utama yang membutuhkan daya seperti ventilasi di ruang operasi dan stasiun oksigen telah berhenti beroperasi di seluruh rumah sakit.
Ia menambahkan bahwa lemari pendingin kamar mayat rumah sakit juga telah berhenti bekerja.
Rumah Sakit Indonesia di Gaza adalah fasilitas medis terdekat dengan kamp pengungsi Jabalya yang padat penduduk di Gaza utara. Rumah sakit ini dihantam oleh militer Israel dengan serangan udara pada hari Selasa dan Rabu silam, yang mengakibatkan ratusan korban tewas dan terluka.
Advertisement
Wanita Hamil Jalani Operasi Caesar Tanpa Anestesi
Tekanan terhadap rumah sakit juga berdampak pada kelompok rentan, yakni ibu hamil dan anak-anak yang baru lahir.
Lembaga kemanusiaan Care International memperingatkan pada hari Senin(30/10/2023), bahwa kondisi medis yang mengerikan memperburuk risiko kematian ibu dan bayi baru lahir, yang sudah sangat tinggi di Gaza.
Lembaga yang berbasis di Jenewa, Swiss itu melaporkan, wanita hamil di Gaza terpaksa menjalani operasi caesar darurat tanpa anestesi. Rata-rata 160 wanita hamil diperkirakan akan melahirkan setiap hari selama sebulan ke depan di Jalur Gaza.
Selain itu, ada sekitar 130 bayi yang baru lahir di inkubator yang juga tidak dapat beroperasi tanpa listrik.
Rumah Sakit Menampung Pengungsi
Rumah sakit di daerah tersebut ibarat tergantung pada seutas benang, dari informasi PBB. Hanya ada sekitar 10 rumah sakit di Gaza masih beroperasi, namun fasilitas-fasilitas tersebut terus-menerus menerima perintah evakuasi.
Bashar Morad, Direktur Eksekutif Palestinian Red Crescent dan Direktur Rumah Sakit Al-Quds mengatakan, rumah sakitnya telah menerima beberapa kali perintah evakuasi dari Israel di tengah-tengah konflik.
Meski begitu, evakuasi hampir tidak mungkin dilakukan. Sebuah fasilitas kesehatan di Jalur Gaza utara, Al-Quds menerima ratusan pasien yang terluka akibat penembakan, serta menampung para pengungsi Palestina yang mencari tempat berlindung.
Hingga 16.000 pengungsi berlindung di Al-Quds, dengan banyak yang tinggal di koridor-koridor gedung karena fasilitas tersebut tidak dibangun untuk menampung jumlah pengungsi.
Debu dan Asap Menyelimuti Rumah Sakit
Bashar Morad melaporkan, bahan bakar, pasokan medis, makanan dan air semakin menipis. Dengan jumlah pasien yang sangat banyak dan mereka berlindung di rumah sakit, pasokan medis dan lainnya sangat dibutuhkan.
Sayangnya, bantuan berjalan lambat karena tindakan militer Israel memisahkan wilayah utara dari selatan.
Palestinian Red Crescent Society pada Minggu (29/10/2023) menyebut, serangan udara Israel telah "menyebabkan kerusakan yang luas pada bagian rumah sakit dan membuat penduduk dan pasien mengalami sesak napas" di rumah sakit Al-Quds.
Organisasi medis itu menuduh Israel "sengaja" melancarkan serangan udara "tepat di sebelah" fasilitas rumah sakit untuk memaksa evakuasi rumah sakit, yang merupakan rumah sakit terbesar kedua di Kota Gaza.
Terkait serangan ke rumah sakit Al-Quds, Israel Defense Forces (IDF) mengatakan dalam sebuah pernyataan, karena "permusuhan yang meningkat" terhadap Hamas di Kota Gaza dan Gaza utara, IDF terus mendesak warga sipil untuk mengungsi ke selatan.
"Serangan udara Israel memenuhi rumah sakit kami dengan debu dan asap," ucap Morad.
Hal itu menyebabkan kepanikan dan ketakutan di kalangan perempuan dan anak-anak.
Advertisement