Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2022, lebih dari 2 juta bayi di bawah 2 tahun atau yang disebut dengan baduta tidak memiliki jaminan kesehatan.
Data ini diambil dari 12 provinsi prioritas percepatan penurunan stunting, yaitu Aceh, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Sumatra Utara.
Baca Juga
Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN Irma Ardiana memaparkan pihaknya melalui pendekatan keluarga melakukan pendataan keluarga di Indonesia, terutama sejak tahun 2021. Upaya ini bertujuan melihat pemetaan keluarga di Indonesia
Advertisement
"Pendataan dilakukan setiap tahunnya dan data-data ini adalah data yang kita cita-citakan betul-betul. Menurut kami sangat baik untuk memotret kondisi keluagra di Indonesia dan termasuk bentuk program pengembangan anak usia dini," papar Irma saat acara 'International Symposium on Early Childhood Education and Development (ECED)' di Grand Sahid Jaya, Jakarta pada Kamis, 16 November 2023.
"Pemetaan khusus keluarga yang memiliki baduta, yaitu anak usia nol sampai dengan 2 tahun."
Ada yang Tak Punya Jaminan Kesehatan dan Akta Lahir
Dari data 12 provinsi percepatan penurunan, sekitar 1,5 juta baduta (45 persen) yang baru punya jaminan kesehatan dan 2,7 juta (77 persen) yang punya akta lahir.
Sebagai catatan, dari 12 provinsi percepatan penurunan stunting, ada 3,54 juta anak baduta dan 3,50 juta keluarga yang mempunyai anak baduta.
"Dari data pendataan keluarga di 12 provinsi untuk percepatan penurunan stunting, yang menjadi penekanan kita adalah ternyata memang mengkonfirmasi, bahwa masih banyak baduta kita yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Kemudian ada yang tidak punya akta lahir," terang Irma.
Perlu Pastikan Data BPJS Kesehatan
Pada data Family Development Index Tahun 2022, Irma Ardiana juga menyebut, 51 persen keluarga di Indonesia tidak tinggal di rumah yang layak huni.
"Lalu 40 persen keluarga tak punya jaminan kesehatan. Jadi harus perlu dipastikan kembali. Karena kan kita punya keluarga dari BPJS Kesehatan, sudah menjagkau 230 juta dari anggota BPJS Kesehatan," jelasnya.
"Kemudian 33 persen keluarga tidak berekreasi ke luar rumah. Ada mungkin penggalian informasi yang diharapkan kader, sehingga mereka menganggap rekreasi itu adalah sesuatu yang mewah dan mahal."
Sebanyak 19 persen keluarga tidak mengakses media dan paling utama ketika dilihat lagi adalah keluarga yang memang mereka banyak terdiri dari warga lansia.
"16 persen keluarga tidak memiliki aset dan 15 persen ternyata keluarga di Indonesia tidak mengikuti aktivitas sosial atau gotong royong," sambung Irma.
Advertisement
21,6 Persen Balita Stunting
Berkaitan dengan pembangunan keluarga, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan, dewasa ini, keluarga menghadapi berbagai macam tantangan.
Permasalahan pada keluarga ditemui sejak usia dini sampai usia lansia.
Hal itu dijelaskannya saat menyampaikan pidato kunci pada kegiatan Rapat Koordinasi Nasional bertemakan "Posisi iBangga tahun 2022 untuk Membangun Komitmen Bersama" di Jakarta pada Kamis (24/8/2023).
Muhadjir menyampaikan, permasalahan keluarga dimulai dari usia dini, yakni masih terdapat 21,6 persen balita stunting sedangkan target pengentasan stunting pada tahun 2024 adalah 14 persen.
Kemudian, permasalahan pada usia pemuda/usia produktif, masih adanya perkawinan dini di bawah usia 16 tahun, dan akses pendidikan tinggi di kalangan pemuda yang masih cukup rendah, dan masalah penyimpangan perilaku remaja.Â
Lalu permasalahan pada tahap kehidupan lansia, yang mana saat ini Indonesia sudah memasuki struktur penduduk tua (aging population) yang ditandai dengan terus meningkatnya persentase penduduk lanjut usia hingga mencapai 10,48 persen dari penduduk Indonesia sejak tahun 2022.
Pastikan Akses Keluarga Pendidikan sampai Sanitasi
Permasalahan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem juga masih menjadi momok yang menghantui keluarga Indonesia. Dukungan untuk pengurangan kemiskinan bagi keluarga juga perlu diperkuat melalui pemenuhan kebutuhan dasar, akses keuangan dan literasi digital serta keberlangsungan pendidikan.
Selain itu tetap perlu menjaga religiusitas, keharmonisan hubungan dalam keluarga, kualitas pola asuh anak, serta layanan publik.
"Pembangunan keluarga harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu untuk dapat memastikan akses keluarga terhadap pendidikan, kesehatan, gizi dan sanitasi yang layak, ketersediaan air bersih dan makanan beragam benar-benar terjamin," jelas Muhadjir.
Indeks Pembangunan Keluarga Masih di Bawah Target
Menko PMK Muhadjir Effendy menjelaskan, sesuai RPJMN 2020-2024 ditetapkan bahwa target Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) pada tahun 2024 adalah pada poin 61.
Saat ini, capaian iBangga pada tahun 2022 adalah pada poin 56,07, masih di bawah dari target 2022 sebesar pada poin 57. Muhadjir berharap, kolaborasi dari seluruh pihak dalam pembangunan keluarga bisa terjalin untuk pembangunan keluarga, dan menyelesaikan masalah yang melanda keluarga Indonesia.
"Saya berharap agar seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah, organisasi swasta, organisasi profesi, organisasi masyarakat, keluarga dapat mendukung sepenuhnya kebijakan pembangunan keluarga demi mewujudkan keluarga berkualitas, masyarakat berkualitas dan Negara berkualitas," ujarnya.
Muhadjir juga berpesan supaya pembangunan keluarga dilakukan sungguh-sungguh dan memerlukan aksi nyata sebaik-baiknya. "Saya berpesan agar Rakornas ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk membangun konsolidasi dan komitmen bersama dalam meningkatkan kualitas keluarga di Indonesia yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas masyarakat, bangsa dan negara," ucapnya.
Advertisement