Komnas Perempuan: Korban Pelecehan Seksual di Universitas Pancasila Alami Relasi Kuasa Berlapis

Dalam kasus yang diadukan, korban pelecehan seksual Universitas Pancasila berada pada posisi relasi kuasa berlapis.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 28 Feb 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2024, 20:00 WIB
Belum lama ini, seorang rektor berinisial ETH dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan pelecehan seksual. Rektor Universitas Pancasila di Jakarta Selatan (Jaksel) itu dilaporkan oleh pegawainya sendiri berinisial RZ.
Belum lama ini, seorang rektor berinisial ETH dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan pelecehan seksual. Rektor Universitas Pancasila di Jakarta Selatan (Jaksel) itu dilaporkan oleh pegawainya sendiri berinisial RZ. (Ilustrasi: AI).

Liputan6.com, Jakarta Pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Pancasila (UP) melibatkan rektor nonaktif berinisial ETH sebagai terduga pelaku dan dua pegawai sebagai korbannya.

Melihat kasus ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual berkaitan erat dengan relasi kuasa.

“Penting diingat bahwa relasi kuasa yang timpang dan kerap berlapis adalah salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual, sekaligus membuat korban enggan bahkan takut untuk melapor,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan pers, Rabu (28/2/2024). 

Apalagi, jika pelaku memiliki posisi yang dapat memengaruhi keberlangsungan penghidupan korban dan keluarganya.

Dalam kasus yang diadukan, pelapor berada pada posisi relasi kuasa berlapis, yakni:

  • Pertama, sebagai perempuan yang dikonstruksikan sebagai subordinat yang berhadapan dengan laki-laki.
  • Kedua, karyawan atau bawahan sebagai penerima kerja dari atasannya.
  • Ketiga, ketimpangan dalam tingkat pendidikan dan pengetahuan antara perempuan korban dengan terduga pelaku.

Selain itu, kekerasan seksual kerap terjadi dalam kondisi sunyi, tanpa saksi. Akibatnya, keterangan korban pun kerap disangkal dan diragukan kebenarannya.

“Korban karenanya membutuhkan waktu dan dukungan untuk dapat bersuara dan melaporkan kasusnya. Bahkan ada korban yang dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik, termasuk nama baik perguruan tinggi,” kata Andy.

Belum lagi, kondisi korban terkait trauma akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Karenanya, korban umumnya membutuhkan penguatan terlebih dahulu untuk kemudian berani bicara dan melapor.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Apresiasi Keberanian Korban

Terlepas dari relasi kuasa berlapis yang dihadapi, Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian perempuan pelapor/korban untuk bersuara dan melaporkan kasusnya kepada kepolisian agar ditangani melalui sistem peradilan pidana.

Laporan telah diterima Komnas Perempuan pada 12 Januari 2024. Hal ini disampaikan oleh Komnas Perempuan di Jakarta (26/02) dalam merespons permintaan informasi media massa terkait dengan kasus tersebut.

Dalam pengaduan pada 12 Januari 2024, pelapor menginformasikan bahwa laporan kasusnya ke kepolisian telah diproses atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 6 UU TPKS.

Selain melanjutkan proses hukum, Komnas Perempuan berharap penyidik dan/atau pendamping korban agar berkoordinasi dengan UPTD PPA dan LPSK untuk pelindungan hak korban, mengingat terduga pelaku memiliki kuasa berlapis atas korban.


Terus Lakukan Pemantauan

Dalam menyikapi pelaporan ini dan sesuai mandat dalam UU TPKS, Komnas Perempuan akan melakukan pemantauan atas penanganan tindak kekerasan seksual.

Dalam hal ini termasuk tentang bagaimana perguruan tinggi menyikapi laporan kasus ini dan atas proses penanganan kasus oleh pihak Kepolisian. Hasil pendalaman akan menjadi rekomendasi lebih lanjut untuk memastikan penanganan kasus yang komprehensif dan mengupayakan pencegahan dari keberulangan.


Proses Penanganan Kasus

Terkait proses penanganan kasus, Komnas Perempuan mengemukakan empat pernyataan.

Pertama, Komnas Perempuan mendorong pihak kepolisian mengacu pada UU TPKS, termasuk dalam memastikan pendekatan penanganan terpadu antara proses hukum dan pemulihan korban.

Kedua, Universitas Pancasila melakukan langkah-langkah sebagaimana dimandatkan oleh Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Juga mengacu pada Permenaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. Intinya mewajibkan perguruan tinggi sebagai pemberi kerja melakukan penanganan dan pemenuhan hak korban atas pelindungan dan pemulihannya.

Ketiga, mendorong media massa menyajikan pemberitaan yang mengedepankan pelindungan terhadap korban.

Keempat, mengajak masyarakat untuk turut mendukung upaya pelapor/korban kekerasan seksual dalam memproses kasusnya dan untuk pemulihan.

Infografis: Rasa Berkuasa Pendidik Berujung Pelecehan Seksual (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis: Rasa Berkuasa Pendidik Berujung Pelecehan Seksual (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya