Liputan6.com, Jakarta Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS tengah menjadi perbincangan. Hari ini, Kamis, 6 Juli 2024, Komisi IX DPR RI bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan rapat kerja terkait kebijakan tersebut.
Rapat juga dihadiri pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Baca Juga
Mengenai rapat ini, Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto meminta pemerintah hati-hati dalam menetapkan KRIS.
Advertisement
Menurutnya, niat baik untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan dengan KRIS patut diapresiasi. Pasalnya, dalam prinsip universal health coverage (UHC), masyarakat harus dapat memperoleh layanan kesehatan yang manusiawi.
“KRIS ini mendapat sorotan banyak pihak karena diduga akan menurunkan akses ke layanan kesehatan bagi masyarakat,” tutur Edy mengutip keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com, Kamis (6/6/2024).
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Tengah III ini mengungkapkan, dalam Perpres 59/2024 disebutkan bahwa rumah sakit swasta perlu menyediakan paling sedikit 40 persen tempat tidurnya untuk KRIS. Sementara RS pemerintah minimal menyediakan 60 persen tempat tidur.
“Saya khawatir ini akan berpotensi menghambat akses peserta JKN (jaminan kesehatan nasional) pada ruang perawatan,” kata Edy.
Meski ada kata minimal, bukan berarti RS akan menyediakan ruang perawatan lebih dari itu. Sebab ini tidak menyalahi aturan. Sementara yang ada sekarang, rumah sakit rata-rata 60 persen tempat tidurnya untuk pasien BPJS Kesehatan.
Simpang Siur Iuran BPJS Kesehatan
Selain itu, lanjut Edy, pemerintah sampai sekarang belum menetapkan iuran. Dalihnya masih melakukan penghitungan aktuaria. Dan yang beredar di masyarakat, akan ada iuran tunggal.
Menurut Edy simpang siur soal iuran ini harus segera dijawab oleh pemerintah. Karena masyarakat membutuhkan kepastian.
“Kalau iuran betul satu harga maka akan membiaskan prinsip gotong royong di JKN. Ini juga bisa berpotensi menurunkan pendapatan iuran JKN,” tuturnya.
“Kalaupun iuran harus naik, juga harus disosialisasikan kepada masyarakat. Jangan tiba-tiba naik,” imbuhnya.
Advertisement
RS Swasta Sulit Cari Dana untuk Penuhi Standar KRIS
Politisi dari PDI Perjuangan ini juga kerap mendapatkan cerita dari rumah sakit tentang kegelisahan penerapan KRIS.
RS swasta milik organisasi keagamaan merasa kesulitan untuk mencari dana guna memperbaiki ruang perawatan yang menyesuaikan syarat KRIS.
“Saya khawatir kalau KRIS diterapkan lalu ada RS yang belum memenuhi standar, maka RS tersebut akan diputus kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Yang rugi adalah masyarakat juga,” kata Edy.
Dia juga menyoroti ketidaksesuaian antara laporan Kemenkes dengan data di lapangan. Kemenkes mengungkapkan sudah banyak rumah sakit yang siap mengganti kelas rawat inapnya menjadi KRIS.
“Banyak direktur rumah sakit mengeluh ke saya atau belum siap. RS pemerintah di-support APBD, RS swasta mungkin ada investasi. Tapi RS swasta keagamaan yang membangun dari iuran masyarakat ini bingung mendapatkan uang dari mana?” Ucap Edy.
“Saya minta pemerintah agar mematangkan lagi konsep kelas rawat inap. Sehingga ketika ada pertanyaan dari publik ada jawaban yang dapat menenangkan masyarakat.”
Penerapan KRIS Masih Ada Waktu hingga Juni 2025
Edy mengingatkan, perlu ada pelibatan masyarakat dalam penerapan KRIS. Sebab mereka ini yang akan membayar iuran sekaligus menikmati fasilitasnya.
“Masih ada waktu sampai Juni 2025 untuk menanyakan kembali kepada masyarakat, baik itu melalui survei atau FGD (diskusi forum), bagaimana pelayanan kesehatan yang diinginkan dan berapa iuran yang mampu dibayarkan,” kata Edy.
Dengan modal ini maka pemerintah bisa memperbaiki desain rawat inap standar yang berimbang antara akses dan pembiayaan.
Advertisement