Apresiasi Pengabdian Dr Helmiyadi, IDI Soroti Ketimpangan Distribusi Dokter

IDI menyoroti ketimpangan distribusi dokter setelah kabar dr Helmiyadi meninggal dunia. Menurut IDI, masalah distribusi dokter merupakan permasalahan utama dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 14 Jul 2024, 13:00 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2024, 13:00 WIB
Ilustrasi Dokter
Dokter (Foto: Unsplash/Marcelo Leal)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) DR Dr Moh. Adib Khumaidi, menyatakan apresiasi terhadap dedikasi dr Helmiyadi, Sp.OT semasa hidup. Dokter berusia 41 tahun itu diketahui meninggal karena serangan jantung ketika tengah menjalankan dtugas sebagai dokter bedah ortopedi di Mamuju, Sulawesi Barat. Dokter Helmi merupakan bagian dari Medical Influencer PB IDI dan erhimpunan Ahli Bedah Ortopedi Indonesia (PABOI) yang kerap memberikan edukasi kesehatan pada masyarakat melalui media sosialnya.

Guna mengenang pengabdian dr Helmiyadi, PB IDI memberi pengahargaan Lencana Karya Bakti padanya.

"Kami juga menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Dr Helmiyadi SpOT dan juga para dokter yang tanpa pamrih yang telah melakukan pengorbanan terbesar dalam menjalankan tugasnya, mendedikasikan hidup mereka untuk menyelamatkan orang lain," ujar Adib melalui keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Minggu, 14 Juli 2024.

"Kami menghormati pengabdian profesi yang mereka jalankan dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas komitmen teguh mereka dalam menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat Indonesia, dengan segala keterbatasan yang dialami, Keberanian, kasih sayang, dan dedikasi mereka terhadap pasien tidak akan pernah terlupakan, dan Semoga akan banyak muncul dokter Helmi yang lain untuk melanjutkan perjuangan dan pengabdiannya di daerah,” imbuh Adib. 

Adib juga menyoroti ketimpangan distribusi dokter setelah kabar dr Helmiyadi meninggal dunia. Menurut IDI, masalah distribusi dokter merupakan permasalahan utama dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan rasio dokter per pasien yang masih rendah, yakni 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Sementara itu, banyak dokter terkonsentrasi di daerah perkotaan, sehingga masyarakat pedesaan dan terpencil tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang dibutuhkan.

 

Ketersediaan Pelayanan Medis dan Obat-Obatan Tidak Memadai

Hal ini ditambah lagi dengan kurangnya ketersediaan peralatan medis, obat-obatan, dan infrastruktur yang tidak memadai. Distribusi dokter dan sumber daya yang tidak merata ini menghambat kemampuan negara untuk menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas bagi warganya, khususnya di daerah pedesaan dan daerah yang kurang terlayani.

“Ini bukan hanya soal angka; ini masalah nyawa - hidup dan mati. Kurangnya dokter di daerah-daerah tertentu menyebabkan banyak masyarakat Indonesia tidak mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, dan ini adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita juga menghadapi kekurangan peralatan medis, obat-obatan, dan infrastruktur. Fasilitas kesehatan di daerah pedesaan seringkali kekurangan peralatan dasar, sehingga dokter tidak dapat memberikan perawatan yang memadai. Dan dalam hal obat-obatan, banyak obat-obatan penting yang persediaannya terbatas, sehingga pasien tidak memiliki akses terhadap pengobatan yang mereka perlukan, selain itu Masalah kemampuan pembiayaan melalui JKN-BPJS juga masih belum memadai,” jelas Adib.

 

Infrastruktur Tidak Merata

Adib juga menambahkan bahwa ketimpangan kemampuan pelayanan kesehatan juga disertai tidak meratanya infrastruktur. Banyak fasilitas kesehatan di daerah terutama pedesaan yang kekurangan fasilitas dasar, seperti air bersih, listrik, dan sanitasi. Hal ini juga akan berdampak pada pekerjaan pelayanan kesehatan yang tidak bisa optimal. Ketersediaan alat kesehatan, sarana prasarana dan obat juga mempengaruhi kualitas dan kemampuan pelayanan kesehatan dasar di daerah.

Konsekuensi dari semua ini menyebabkan pasien terpaksa melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan pelayanan dan perawatan medis dan seringkali dengan biaya yang besar. Dan dalam beberapa kasus, pasien sudah dalam kondisi yang kronis dan terminal tanpa akses terhadap perawatan medis yang baik.

 

Bukan Hanya Tanggung Jawab Pemerintah

Adib menyampaikan bahwa problema kesehatan ini bukan hanya masalah dan tanggung jawab pemerintah saja tetapi memerlukan peran penting semua komponen bangsa termasuk organisasi profesi, LSM, kelompok akademisi, swasta, media massa dan sosial, dan tentunya masyarakat sendiri sebagai garda terdepan agen perubahan transformasi kesehatan.

Peningkatan jumlah dokter di daerah dapat dilakukan melalui beasiswa dan program insentif. Selain itu Pemerintah pusat dan daerah perlu berinvestasi pada peralatan medis, obat-obatan, dan infrastruktur, untuk memastikan bahwa rumah sakit dan fasilitas kesehatan di daerah tersebut memiliki sumber daya yang mereka perlukan untuk memberikan layanan berkualitas. Didukung juga kemampuan pembiayaan baik dari pemerintah pusat, daerah maupun melalui JKN -BPJS

PB IDI mengingatkan bahwa akses terhadap layanan kesehatan berkualitas adalah hak asasi manusia yang mendasar dan setiap orang mempunyai akses terhadap perawatan medis yang mereka perlukan, di mana pun mereka tinggal.

“Jadi mari kita semua saling bekerjasama untuk mengatasi masalah kritis ini. Mari kita bersama memperbaiki sistem layanan kesehatan kita, dan memastikan bahwa setiap orang Indonesia memiliki akses terhadap layanan medis yang berkualitas. Kita bisa melakukan ini, dan kita harus melakukan ini. Kita harus "total football' dalam upaya totalitas transformasi kesehatan. Masa depan negara kita bergantung pada masalah kesehatan dasar ini,” tutup Adib.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya