Masyarakat Was-Was soal Mpox, Menkes Budi: Tenang, Terpenting Berperilaku Baik

Penularan Mpox tidak semudah COVID-19. Menkes Budi meminta masyarakat tetap tenang soal Mpox atau dulu disebut monkeypox atau cacar monyet.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 30 Agu 2024, 12:34 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2024, 12:10 WIB
Menkes Budi mangatakan agar masyarakat tetap tenang dan tidak panik terkait Mpox atau dulu disebut monkeypox atau cacar monyet.
Menkes Budi mangatakan agar masyarakat tetap tenang dan tidak panik terkait Mpox atau dulu disebut monkeypox atau cacar monyet. Penularan Mpox tidak seperti COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan agar masyarakat tetap tenang dan tidak panik terkait Mpox atau dulu disebut monkeypox atau cacar monyet. Budi mengatakan bahwa penularan Mpox tidak semudah COVID-19.

"Mpox itu tidak menular (begitu saja), jarang, itu biasanya di kelompok-kelompok tertentu. Tenang aja tenang, yang penting perilakunya baik," ujar Menkes Budi saat ditemui di RSCM, Jakarta, Jumat (30/8/2024).

Budi juga angkat bicara soal vaksin Mpox yang akan disediakan. Menurutnya, vaksin tersebut akan diberikan kepada masyarakat risiko tinggi.

"Vaksin Mpox kita berikan, jadi yang divaksinasi kelompok tertentu saja. (Jumlahnya) aman," ujar Budi.

Sebelumnyanya, Plh. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI dr Yudhi Pramono juga menyampaikan bahwa vaksinasi adalah salah satu upaya pencegahan Mpox di Indonesia.

Yudhi mengatakan vaksinasi Mpox di Indonesia diprioritaskan untuk:

  • Tenaga kesehatan dan tenaga laboratorium yang merawat pasien Mpox;
  • Kelompok kunci seperti lelaki suka lelaki, biseksual, gay atau individu yang kontak dengan pasien Mpox dalam 2 minggu sebelumnya.

Upaya kewaspadaan terhadap Mpox lainnya dengan pelacakan kasus secara aktif atau active case finding dilakukan salah satunya melalui skrining di pintu masuk negara.

“Salah satunya dengan penerapan SatuSehat Health Pass bagi pelaku perjalanan internasional yang masuk ke Indonesia. Juga dilakukan peningkatan surveilans Mpox di wilayah dan dengan melakukan kontak tracing jika ditemukan kasus konfirmasi,” jelas Yudhi kepada Health Liputan6.com pada Kamis (29/8/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Mpox Clade 1b Belum Ditemukan di Indonesia

Yudhi juga mengatakan bahwa belum ditemukan Mpox clade 1b di Indonesia.

“Belum ditemukan kasus clade 1b di Indonesia."

Mengenai jumlah kasus Mpox di Tanah Air, Yudhi mengatakan hingga 29 Agustus 2024 belum ada penambahan kasus Mpox.

“Sampai saat ini (Kamis, 29 Juni 2024) belum ada (penambahan kasus Mpox di Indonesia),” ucap Yudhi.

Dengan begitu, angka Mpox masih mengacu pada laporan per 17 Agustus 2024 yakni 88 kasus.

Selama 2022 hingga 2024, jika dilihat tren mingguan, periode dengan kasus Mpox terbanyak terjadi pada Oktober 2023.

Berikut rincian 88 kasus Mpox:

  • DKI Jakarta sebanyak 59 kasus konfirmasi;
  • Jawa Barat 13 kasus konfirmasi;
  • Banten 9 konfirmasi;
  • Jawa Timur 3 konfirmasi;
  • Daerah Istimewa Yogyakarta 3 konfirmasi; dan
  • Kepulauan Riau 1 konfirmasi kasus Mpox.

Tetap Waspada Terhadap Clade 1b

Clade 1b menjadi pemicu tingginya angka kesakitan maupun keparahan terutama di Kongo, Afrika. Lalu, WHO juga mengatakan bahwa angka kematian akibat clade 1b lebih tinggi dari strain lain. 

Meski belum ada temuan kasus Mpox Clade 1b, epidemiolog Dicky Budiman mengatakan bukan berarti Indonesia aman.

“Mpox yang disebabkan oleh clade 1b belum terdeteksi, belum dilaporkan oleh Indonesia, tapi bukan berarti Indonesia aman. Kita tetap harus menjaga dan memastikan bahwa itu belum masuk ke Indonesia,” kata Dicky dalam pesan suara dikutip Kamis, 29 Agustus 2024.

Guna memastikan hal tersebut, sambung Dicky, maka perlu deteksi yang aktif dan peningkatan surveilans. Deteksi dan penanganan Mpox penting dilakukan lantaran jika dibiarkan maka potensi mutasinya tinggi.

“Kalau dibiarkan tentu ada potensi yang lebih besar meskipun virus DNA cenderung lebih lambat mutasinya daripada virus RNA seperti corona virus. Tentu ini juga tidak boleh dibiarkan karena mutasi itu akan punya potensi melahirkan satu virus yang lebih parah atau lebih mematikan, itu yang dikhawatirkan,” jelas Dicky

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya