Ayah dan Ibu Pakai Kacamata Lantaran Rabun Jauh, Apa Anak Lebih Berisiko Alami Hal Serupa?

Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang anak mengalami miopi atau rabun jauh atau mata minus. Salah satunya adalah faktor dari orangtua.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 24 Nov 2024, 12:32 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2024, 10:00 WIB
FOTO: PPKM, IHSG Ditutup Menguat
Ilustrasi orangtua pakai kacamata lantaran rabun jauh atau mata minus (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang anak mengalami miopi atau rabun jauh atau mata minus. Salah satunya adalah faktor dari orangtua.

Dokter spesialis mata Andreas Surya Anugrah mengatakan bila salah satu orangtua, entah itu ayah atau ibu, punya kondisi rabun jauh maka anak punya kemungkinan tiga kali lipat alami kondisi serupa. Sementara itu, bila ibu dan ayah sama-sama rabun jauh maka risiko anak mengalami mata minus juga naik.

"Kalau ayah dan ibu pakai kacamata rabun jauh, maka kemungkinan anak (mengalami miopi) jadi 6 kali lipat," kata Andreas lagi dalam live bersama Kementerian Kesehatan RI ditulis Minggu, 24 November 2024.

Bila orangtua sudah memahami kondisi tersebut, maka ia menyarankan untuk mengatur agar bisa meminimalkan risiko anak terkena rabun jauh.

"Dengan modifikasi perilaku (seperti membatasi penggunaan gawai dan aktif mengajak anak bermain di luar ruangan) dan deteksi dini. Kalau anaknya terdeteksi dini, makin cepat ketahuan ya lebih baik," katanya lagi.

Faktor Lain Anak Alami Mata Minus

Selain faktor genetik, penyebab anak menjadi rabun jauh lainnya adalah kebiasaan sehari-hari. Diantaranya:

Penggunaan Gawai Terlalu Lama

"Kalau kita lihat aktivitas anak-anak sekarang berbeda ya dengan jaman milenial ke atas. Di zaman saya misalnya, tidak ada itu screen time atau terbatas lah ya. Tapi sekarang dari bayi sudah ada screen baik dari HP, laptop, dan itu jadi teman sehari-hari," lanjutnya.

Screen itu cenderung melihat secara dekat yang merupakan faktor risiko terjadinya rabun jauh.

"Screen itu melihat dekat, jaraknya dekat, melihat dekat itu meningkatkan risiko terjadinya rabun jauh," katanya.

Meski begitu, ia mengatakan tidak berarti antipati terhadap screen atau layar melainkan harus diatur berapa lama menonton atau screen time.

Berdasarkan konsensus dunia antara dokter anak dan dokter mata, anak di bawah dua tahun tidak disarankan menggunakan gawai kecuali menghubungi atau video call yang dipantau ayah atau ibu. Lalu, anak usia 2-5 maksimal screentime 1 jam per hari. 

Faktor Lain: Aktivitas Terlalu Banyak di Dalam Rumah

Lagi-lagi terkait dengan kebiasan melihat jarak dekat. Di mana sekarang aktivitas lebih banyak di dalam rumah atau indoor yang kebanyakan melihat dekat.

"Beda halnya dengan zaman dulu yang aktivitasnya melihat yang jauh, melihat alam, ke ladang," katanya.

Maka ia menyarankan orangtua untuk sering mengajak anak keluar rumah. Misalnya pagi-pagi ajak anak berolahraga di luar ruangan. Ajak anak untuk melihat hal-hal yang jauh.

Bisa juga dengan melihat pemandangan dari jendela, lalu melihat pandangan yang jauh.  

Makin Banyak Anak Usia 5-6 Tahun Alami Mata Minus

Anak Memakai Kacamata
Kacamata anak (Foto: Dokumen/SATURDAYS)

Saat ini kasus mata minus atau miopi makin meningkat kasusnya. Dalam praktik sehari-hari, Andreas mengungkapkan bahwa banyak kasus anak usia enam tahun sudah rabun jauh.

"Sekarang, kadang-kadang usia masih kecil sudah bisa terjadi rabun jauh di usia 5 tahun. Lalu, 6 tahun itu paling banyak, di bawah lima tahun juga ada tapi kasusnya tidak banyak," kata Andreas.

 

 

Ganggu Belajar dan Bermain Anak

Dampak Father Hunger Bagi Anak, Bagai Sebuah Luka saat Mencari Sosok Ayah yang Tak Pernah Ada (Foto dok : Freepik/jcomp)
Ilustrasi anak (Foto dok : Freepik/jcomp).

Kesulitan melihat jarak jauh tentu saja membuat anak-anak jadi kesulitan untuk belajar di kelas dan bermain. Bila tidak terdeteksi pada banyak kasus anak disebut malas belajar padahal karena dia tidak bisa melihat tulisan di papan tulis yang ditulis guru.

"Kadang-kadang anak terlihat malas, terlihat kurang bisa mengikuti. Dikira malas, padahal sebenarnya karena dia tidak bisa mengikuti," kata Andreas.

Maka dari itu, ia menyarankan kepada guru di sekolah untuk sensitif terhadap hal ini. Begitu pula orangtua, bila ada keluhan tersebut untuk memeriksakan kesehatan mata anak ke dokter mata.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya