Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 7 dari 10 pelajar SMA di Jakarta enggan mengunjungi ruang Bimbingan Konseling (BK) di sekolah untuk bercerita tentang masalah kesehatan mental yang dihadapi.
Hal ini diungkap dalam Studi Zona Mendengar Jiwa dari Health Collaborative Center (HCC), Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) dan Yayasan BUMN.
Advertisement
Baca Juga
Studi ini menyebutkan bahwa ketika berinteraksi di sekolah, para pelajar SMA yang menjadi responden pada penelitian ini cenderung lebih memilih teman untuk menjadi tempat konsultasi dan diskusi terkait masalah kesehatan mental mereka, bukan guru di sekolah.
Advertisement
“Bahkan hampir 7 dari 10 (67 persen) pelajar SMA terbukti tidak ingin mengunjungi ruang BK, terlebih untuk melakukan konseling, padahal guru sadar akan risiko gangguan emosional dan kesehatan jiwanya,” kata Peneliti Utama HCC, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi di Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Hal ini menunjukkan bahwa peran teman sebagai rekan konseling sebaya atau peer counselor bisa menjadi salah satu agen mitigasi.
Kondisi tersebut membuktikan bahwa peran teman sebagai teman konseling sebaya atau selanjutnya disebut peer counselor bisa menjadi salah satu agen mitigasi kesehatan mental di sekolah.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti dari lembaga Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) Prof. Nila Moeloek menegaskan bahwa pendekatan ini harus dilakukan sangat hati-hati.
"Pelajar usia remaja tetap merupakan individu yang masih perlu bimbingan, sehingga konsultasi antar sesama tetap harus disiasati ruang lingkup sebagai saluran bercerita saja dan bukan untuk dilakukan sebagai upaya mitigasi konseling,” ucap Nila.
Mengapa Konseling Teman Sebaya Tetap Perlu Bimbingan?
Menteri Kesehatan 2014-2019 itu pun menjelaskan alasan mengapa konseling teman sebaya tetap perlu bimbingan.
“Karena nantinya akan ada kemungkinan potensi saran yang tidak akurat sebab mereka tetap harus dibimbing, dan ini juga merupakan tugas orangtua, keluarga, serta guru di sekolah,” jelas Nila.
Hasil penelitian ini pun diturunkan menjadi sebuah rekomendasi yang diberikan kepada institusi pendidikan yang bernama Zona Mendengar Jiwa.
“Harapannya dapat diterapkan oleh pihak sekolah terutama pelaksanaan skrining kesehatan mental, identifikasi masalah dan konseling berbasis sekolah, dan konseling sebaya serta integrasi layanan kesehatan dengan sekolah,” ujar Program Manager Health and Wellbeing Yayasan BUMN, Heru Komarudin.
Advertisement
Sejalan dengan Upaya Negara Menuju Indonesia Emas 2045
Heru menambahkan, rangkaian ini sejalan dengan upaya negara dalam membentuk generasi muda yang sehat fisik dan mental dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.
Rekomendasi lainnya dari penelitian ini adalah diperlukan adanya upaya intervensi dan promosi kesehatan mental pada tingkat sekolah SMA secara terstruktur yang melibatkan elemen guru, teman sebaya, dan orangtua agar lingkungan sekolah menjadi ramah bagi kesehatan mental.
Hal ini penting untuk dilakukan sebab sekolah berpeluang menjadi lokus mayor masalah kesehatan mental. Upaya rebranding ruang BK juga dapat menjadi solusi alternatif agar tidak terkesan menstigma pelajar yang hendak melakukan konseling di sana.
Soal Penelitian Zona Mendengar Jiwa
Sebelumnya dijelaskan bahwa penelitian terbaru yang dilakukan HCC, FKI bersama Yayasan BUMN melalui inisiatif Mendengar Jiwa Institute mengungkapkan fakta yang memprihatinkan tentang kesehatan mental remaja di Jakarta.
Studi ini menunjukkan, 3 dari 10 pelajar sering menunjukkan perilaku marah dan cenderung berkelahi akibat gangguan mental emosional.
Penelitian ini melibatkan 741 pelajar SMA di Jakarta yang dipimpin oleh tim peneliti, yaitu Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi sebagai Peneliti Utama HCC, Bunga Pelangi SKM, MKM sebagai Direktur Program HCC, dan Prof. Nila F. Moeloek sebagai Direktur Eksekutif FKI.
Hasil penelitian ini menjadi dasar pengembangan Program Zona Mendengar Jiwa yang dirancang untuk membangun support system, kesadaran, memberikan edukasi, serta menyediakan intervensi berbasis data terkait kesehatan mental remaja khususnya di institusi pendidikan.
Advertisement