Ragam Keluhan Pasien Rumah Sakit Sejak BPJS Berlaku

Ada banyak diantaranya yang mengaku disulitkan pihak rumah sakit karena belum jelasnya sistem yang diberlakukan.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 17 Jan 2014, 12:00 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2014, 12:00 WIB
bpjs-sosialisasi-140103-b.jpg

Tiga minggu sejak berlakunya kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, di sejumlah pelayanan kesehatan ternyata masih banyak yang perlu dibenahi. Bagaimana tidak, dari sekian pasien yang berobat, ada banyak di antaranya yang mengaku disulitkan pihak rumah sakit karena belum jelasnya sistem yang diberlakukan.

Berikut penuturan sejumlah pasien yang sempat diwawancara oleh Liputan6.com:

Nabhan Ihsan (5)

Nabhan merupakan pasien hemophilia A berat yang mengeluh sakit dan mengalami pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya. Ia biasa memeriksakan kondisinya ke Rumah sakit Fatmawati. Sayangnya sejak BPJS Kesehatan berlaku, setelah dokter memberikan resep, ternyata obat yang biasanya bisa diberikan tidak dapat diklaim dikarenakan perubahan PT Askes menjadi BPJS.

"Manajemen menjelaskan secara spesifik tariff INA-CBG Regional 1, tapi mereka menyebutkan kalau obat hemoflia tidak masuk kedalam Top Up special CMG. Jadi saya disarankan untuk dirujuk ke RSCM sebagai Rumah Sakit Rujukan Nasional. Kalau semua dirujuk ke RSCM (RS Cipto Mangunkusumo). "Mau sebesar apa negara ini mempersiapkan fasilitas dan menyokong sumber daya RSCM ya?," kata ibu Nabhan, Wina Halim.

Yang jadi masalah bagi Wina yang sebelumnya peserta Askes adalah harus mengulang proses mengantre administrasi dan pengobatan yang bisa mencapai 8 sampai 10 jam di RSCM. Sementara putranya sudah harus mendapat suntikan obat karena penyakit Katastropis yang dideritanya.

"Saya berharap banyak pada BPJS karena saya pengguna Askes dan sistem yang diberlakukan sekarang seharusnya tidak mengubah hak-hak pengguna Askes secara keseluruhan. Tapi malah membantu masyarakat yang bersedia berpartisipasi dalam sistem pembayaran asuransi mandiri sehingga beban negara pun tidak menjadi berat.  Tapi kalau ternyata hak-hak peserta Askes menjadi berkurang ini bisa menjadi koreksi ke depan," tegasnya.

Inem, penderita kanker payudara

Inem saat ini sedang dirawat di RS Persahabatan dengan penyakit kanker payudara. Anaknya, Nurlela mengaku, keluarganya merupakan peserta Jamkesmas yang semestinya menjadi peserta otomatis BPJS Kesehatan. Tapi sayangnya, sejak BPJS berlaku, meskipun biaya operasinya gratis tapi keluarga miskin ini dibebani biaya obat sebesar Rp 2.438.000.

"Waktu Jamkesmas gratis, tapi setelah pindah BPJS obat-obatan jadi nebus. Operasi sih masih gratis. Tapi RS bilang, kami disuruh bayar Rp 2.438. 000," kata Nurlela saat ditemui di Ruang Ketua DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (17/1/2014).

Tuti (hamil 8 bulan)

Wanita asal Depok ini mengaku ditolak di sejumlah puskesmas dan rumah sakit karena tidak memiliki Jamkesda dan Jamkesmas. Yang ia miliki hanya Jampersal (Jaminan Persalinan).

"Tapi Jampersal katanya sudah nggak berlaku. Saya kesusahan ke RSUD dan puskesmas nggak mau kasih rujukan. Padahal anak saya semestinya bsia lahir bulan Februari nanti," jelasnya.

Tuti mengaku, ia hanyalah istri dari seorang supir yang memiliki anak 3. Sehingga bila masih dipungut bayaran, dirinya merasa keberatan.

"Tolong..saya dilempar-lempar ke puskesmas ke RSUD, sedangkan RSUD harus ada rujukan. Jadi saya berharap bantuannya kalau memang Jampersal sudah nggak berlaku," ujar wanita ini menangis.

Ketua Yayasan Pelayanan Kasih, Theodora Wahyu

Tak cukup sampai di situ, Ketua Yayasan Pelayanan Kasih, Theodora Wahyu yang diberi kesempatan mengeluhkan program BPJS Kesehatan di depan Ketua DPR RI, Marzuki Ali dan Direktur Utama Fahmi Idris mengaku bahwa masih banyak pelayanan kesehatan yang menganaktirikan pasien kanker yang diurusnya.

"Coba lihat Ibnu Dayan. Dia peserta Jamkesda, masih bayi tapi sudah menderita kanker mata. Dia adalah pasien RS Cipto. Dulu untuk kemoterapi digratiskan tapi sekarang dibatasi Rp 600 ribu. Ayahnya yang hanya kuli bangunan berpenghasilan Rp 50 ribu tidak sanggup membayarnya. Jadilah ia telat kemo dan benjolan di matanya makin besar. RS Cipto bilang tidak ada obat kemo," katanya.

Yang membuat Theodora sedih, warga miskin yang menderita kanker ini seringkali diperdaya dokter dengan mengatakan kalau orang-orang tersebut sudah sembuh sehingga perawatannya dihentikan. Tapi tak lama dari waktu pemberitahuan dokter itu, banyak yang meninggal dan beberapa di antaranya sel kankernya makin parah.

(Fit/Mel/*)

Baca Juga:

Yati, Pasien Kanker Harus Bayar Kemoterapi Sejak BPJS Berlaku
Maunya Sih Rakyat Miskin Bisa Berobat Gratis di Rumah Sakit!
IDI Minta Dana BPJS Langsung Dikelola Rumah Sakit atau Puskesmas

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya