Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina MSi menilai bahwa penyebab banjir, khususnya di Jakarta, bukan sekadar persoalan ekologis.
"Karena persoalan banjir ini jika kita kaji sama seperti persoalan krisis ekonomi yang disebabkan oleh tindakan manusia. Lebih tepatnya karena tindakan manusia yang tamak, dan akumulasi keuntungan yang terus-menerus," kata Nia Elvina di Jakarta, seperti dikutip dari Antara Senin (20/1/2014).
Nia tidak sepakat dengan pandangan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menyatakan bahwa persoalan banjir Jakarta hanya sebatas persoalan ekologis dan lebih disebabkan oleh daerah penyangga, terutama Bogor.
"Saya kira itu kurang tepat," kata anggota Kelompok Peneliti Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.
Karena itu, dia menegaskan bahwa penyebab banjir bukan murni faktor alam, atau jika meminjam istilah ekonom, bukan bersifat eksogen.
Nia Elvina mengatakan bahwa persoalan banjir di Jakarta lebih banyak pada persoalan manusianya, kebijakan yang sangat berpihak kepada kepentingan manusia yang tamak.
Ia merujuk data dari Dinas Perhubungan dan Pekerjaan Umum Jakarta yang menyebutkan bahwa izin perluasan jalan tol semakin bertambah, yang sebagian besar area jalan tol tersebut notabene adalah daerah resapan air.
Tidak jarang juga, kata dia, perluasan jalan tol juga membabat taman kota. Kemudian pemberian izin pengembangan bisnis properti yang tidak mempertimbangkan daerah resapan air.
"Jadi, saya kira persoalan banjir di Jakarta lebih banyak pada persoalan pengaturan tindakan manusia yang tamak ini," kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu.
Karena itu, selama kebijakan yang diambil oleh Gubernur DKI Jakarta masih cenderung mendukung berkembangnya manusia tamak, kata dia, selama itu juga persoalan banjir tidak akan selesai.
"Saya kira juga Gubernur Jakarta harus punya sikap ksatria dalam memimpin, yakni harus menghilangkan tendensi negatif yang berkembang dalam masyarakat sekarang bahwa Gubernur hanya berlindung image 'ndeso'nya dan sentimentilnya, tetapi kebijakan yang Gubernur Jakarta ambil sangat borjuis," katanya.
Ia melihat belum ada kebijakan yang progresif untuk membela kepentingan masyarakat kelas bawah atau masyarakat Jakarta secara luas.
(Abd)
"Karena persoalan banjir ini jika kita kaji sama seperti persoalan krisis ekonomi yang disebabkan oleh tindakan manusia. Lebih tepatnya karena tindakan manusia yang tamak, dan akumulasi keuntungan yang terus-menerus," kata Nia Elvina di Jakarta, seperti dikutip dari Antara Senin (20/1/2014).
Nia tidak sepakat dengan pandangan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menyatakan bahwa persoalan banjir Jakarta hanya sebatas persoalan ekologis dan lebih disebabkan oleh daerah penyangga, terutama Bogor.
"Saya kira itu kurang tepat," kata anggota Kelompok Peneliti Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.
Karena itu, dia menegaskan bahwa penyebab banjir bukan murni faktor alam, atau jika meminjam istilah ekonom, bukan bersifat eksogen.
Nia Elvina mengatakan bahwa persoalan banjir di Jakarta lebih banyak pada persoalan manusianya, kebijakan yang sangat berpihak kepada kepentingan manusia yang tamak.
Ia merujuk data dari Dinas Perhubungan dan Pekerjaan Umum Jakarta yang menyebutkan bahwa izin perluasan jalan tol semakin bertambah, yang sebagian besar area jalan tol tersebut notabene adalah daerah resapan air.
Tidak jarang juga, kata dia, perluasan jalan tol juga membabat taman kota. Kemudian pemberian izin pengembangan bisnis properti yang tidak mempertimbangkan daerah resapan air.
"Jadi, saya kira persoalan banjir di Jakarta lebih banyak pada persoalan pengaturan tindakan manusia yang tamak ini," kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu.
Karena itu, selama kebijakan yang diambil oleh Gubernur DKI Jakarta masih cenderung mendukung berkembangnya manusia tamak, kata dia, selama itu juga persoalan banjir tidak akan selesai.
"Saya kira juga Gubernur Jakarta harus punya sikap ksatria dalam memimpin, yakni harus menghilangkan tendensi negatif yang berkembang dalam masyarakat sekarang bahwa Gubernur hanya berlindung image 'ndeso'nya dan sentimentilnya, tetapi kebijakan yang Gubernur Jakarta ambil sangat borjuis," katanya.
Ia melihat belum ada kebijakan yang progresif untuk membela kepentingan masyarakat kelas bawah atau masyarakat Jakarta secara luas.
(Abd)