Liputan6.com, Jakarta Cerita lucu Mukidi sempat viral pada 2016 silam. Cerita lucu Mukidi menyebar melalui jejaring sosial mulai dari Facebook, Twitter, dan WhatsApp. Cerita lucu Mukidi mampu menghibur masyarakat dengan kisah-kisah konyol dan kocaknya.
Nama Mukidi yang sempat menjadi sorotan dunia maya merupakan tokoh rekaan dalam cerita lucu Mukidi yang dibuat oleh Soetantyo Moechlas. Soetantyo adalah sosok dibalik kisah-kisah lucu tentang sosok Mukidi dan keluarganya. Soetantyo Moechlas yang akrab disapa pak Yoyo ini membuat kisah tentang Mukidi sejak tahun 2000-an. Kumpulan cerita lucu Mukidi dipublikasikan di blog pribadinya ceritamukidi.wordpress.com.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Soetantyo Moechlas menggambarkan Mukidi sebagai pria yang berasal dari Cilacap. Mukidi merupakan tipikal orang yang biasa saja, tidak terlalu alim, mudah akrab dengan siapa saja. Mukidi memiliki karir, tapi kadang-kadang bisa menjadi apa saja. Istrinya Markonah, juga punya karir tapi tidak terlalu istimewa. Anak mereka 2 orang, Mukirin yang sudah remaja dan Mukiran yang masih duduk di bangku SD, sahabatnya adalah Wakijan.
Cerita lucu Mukidi kebanyakan mengambil latar belakang waktu Ramadhan. Terkadang kisah Mukidi ini sering diselipkan pesan-pesan bermakna. Jika Anda sedang mencari hiburan untuk melepas penat, membaca cerita lucu Mukidi merupakan pilihan tepat. Berikut beberapa kisah Mukidi yang berhasil Liputan6.com rangkum dari blog pribadi Soetantyo Moechlas Selasa (30/4/2019).
Mealstone
Seorang pria sok akrab tiba-tiba mendekati Mukidi sambil mengulurkan tangan:
“Loh, kamu kan… aduuuuh sudah berapa tahun gak ketemu ya?”
“Mukidi.” Mukidi menjawab lalu menerima uluran tangan pria misterius tadi sambil berpikir keras.
“Ya… ya Mukidi… aduuuh masa lupa sih? Sungib… Sungib teman SMP, masih ingat Tasripin, Kamid, Wartam….” Mukidi masih bingung tapi asal mengangguk gak apalah pikirnya, sambil mengingat-ingat nama-nama aneh itu.
“Wah, sudah hampir Maghrib nih, kita buka bersama yuk?” ajak teman barunya itu. “Aku… eh sebetulnya mau buru-buru pulang..” Mukidi pura-pura menolak… “Ayolah sekalian bernostalgia.” Mukidi yang lagi bokek ikut aja ke warung Padang, lagi pula sejak kasus daging sapi impor dia sudah tidak pernah makan dendeng balado.
Setelah adzan berkumandang, mereka menikmati takjil gratis lalu apa saja yang didekatnya diembat, Mukidi tidak lupa pesan jus duren. Dia sudah lupa menanyakan jati diri temannya tadi.
“Ayo Di sikat saja…” Sungib juga tak kalah beringas mengambil lauk di hadapannya. beberapa saat kemudian dia berhenti: “eh ngomong-ngomong aku ke mushola dulu ya, nanti gantian. Kamu terusin makan aja, habiskan jusmu.” Mukidi mengangguk.
Sungib yang rupanya ahli ibadah itu rupanya lama juga di mushola sudah lebih 30 menit. Mukidi sudah khawatir kehabisan waktu Maghrib.
“Uda,” dia memanggil pelayan, “musholanya di sebelah mana?”
“Wah gak ada mushola pak, adanya masjid 50m dari sini…”
“Teman saya tadi mana?”
“Teman yang mana pak?”
catatan: Sungib = suka ngibul
Advertisement
Aint No Kermit
“Mas tadi waktu bukber pada cekikikan ngomongin kodok apaan sih?” tanya Markonah.
“Dulu sekali, aku, Wakijan, Samingan sowan ke mbah Joyongablak nanyain masalah jodoh,” jawab Mukidi: “Waktu kami pulang, mbah Joyo berpesan: ‘Ati-ati jangan sampai nginjek kodok.’ Celakanya walaupun sudah berhati-hati, Wakijan nginjek kodok. Gak lama, Samingan juga nginjek kodok. Cuman aku yang selamat sampai rumah tanpa nginjek kodok.”
“Memang kalau nginjek kodok kenapa?”
“Yah tadinya mereka berdua cemas, tapi lama-lama kata-kata mbah Joyo dianggap cuma takhayul. Eh 5 tahun kemudian setelah mereka kawin bininya jelek-jelek, bawel. Rupanya gara-gara nginjek kodok, kata-kata simbah terbukti. Kamu percaya gak Nah?”
“Percaya sih mas, aku dulu juga nginjek kodok….”
Poison
Mukidi menemui Wakijan: “Celaka Jan. Markonah hampir membunuhku.”
“Kenapa? Kamu diracun?
“Bukan. Dia masak kolak biji salak”
“Istriku juga suka bikin biji salak.” Wakijan heran, “Apa masalahnya?”
“Iya tapi istrku pakai biji salak beneran!”
Advertisement
Safety
Siang hari Mukidi masuk ke warteg. “Assalamualaikum…” tidak ada sahutan, “mana yang punya warung nih?” Mas Asrawi si pemilik warung tergopoh-gopoh menemui pelanggannya,
“Ya pak?”
“Mas, ini kan bulan Ramadhan, koq gak tutup?”
“Lha kalau tutup kan kami gak makan pak? Bagaimana karyawan saya?” jawab Asrawi (Asli orang Slawi).
“Yah tapi hormati dong orang yang lagi puasa. Ditutup layar kek, biar gak kelihatan dari luar.” Asrawi buru-buru mengambil spanduk bekas kampanye parpol untuk menutupi warungnya.
“Nah begitu kan lebih baik, jadi orang yang sedang makan tidak kelihatan dari luar…” sahut Mukidi sambil duduk, “nah sekarang saya minta sayur, pakai ikan tongkol, nasinya separo saja….”
Fair
Selesai berbuka puasa di warung Padang, Mukidi menghampiri pemiliknya: “Uda, pernah dengar gak hadits yang mengatakan bahwa memberi makan orang yang berpuasa pahalanya sama dengan pahala orang yang berpuasa?”
“Ya, saya sering dengar. Tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun,” jawab udar Asman (Aseli Pariaman).
“Syukurlah, uda rupanya sering ngaji ya?”
“Memangnya kenapa?”
“Dompet saya ketinggalan……”
Advertisement
Responsibility
Abu Wakidi dan Abu Wakijan dihadapkan ke meja hijau. Keduanya dituduh melarikan anak gadis, bedanya; Abu Wakidi membawa lari anak orang, sedangkan Abu Wakijan membawa lari anak kambing. Hakim menjatuhi abu Wakidi hukuman 3 bulan kurungan, sedangkan Abu Wakijan diganjar 3 tahun.
“Ini tidak adil!” seru Abu Wakijan protes, “yang mulia, saya keberatan mengapa Abu Wakidi yang melarikan anak orang hanya dihukum 3 bulan, sementara saya yang membawa lari anak kambing malah dihukum 3 tahun….” “Saudara terdakwa,” kata pak hakim bijaksana.
“Ketahuilah bahwa Abu Wakidi bertanggungjawab mengawani gadis yang dibawanya lari, kalau saudara mau bertanggungjawab mengawini tentu hukumannya tentu akan saya ringankan. Bagaimana?”